Memaknai Pidato ”Braveheart” sang Presiden

ILUSTRASI Memaknai Pidato ”Braveheart” sang Presiden.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
CUPLIKAN pidato Presiden Prabowo Subianto di forum Sidang Umum PBB pada Selasa, 23 September 2025, viral dan seolah makin beresonansi di media sosial hingga saat ini. Potongan video pendek yang paling popoler ialah saat sang presiden mengucapkan dengan nada tegas, ”might can not be right, right must be right” (yang kuat tidak selalu benar, yang benar haruslah benar).
Sebuah seruan yang sarat makna, mengingatkan kepada para pemimpin negara dan dunia, bahwa kebenaran dan keadilan tidak boleh tunduk pada logika kekuasaan.
Debut pidato di panggung bergengsi itu pun sontak mencuri perhatian publik, bukan hanya karena gestur retorikanya yang memukau, melainkan lebih pada konteks persoalan yang mengitarinya. Suara lantang sang presiden menegaskan dukungan atas nama Indonesia terhadap pengakuan akan kedaulatan-kemerdekaan Palestina.
BACA JUGA:Poin-Poin Penting Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB
BACA JUGA:Netanyahu Singgung Pidato Presiden Prabowo di Sidang PBB, Ajak Kolaborasi Negara Muslim dan Israel
Di tengah kebuntuan rangkaian upaya diplomasi, konflik peperangan Timur Tengah sering kali hanya dijadikan komoditas politik internasional. Pidato itu mengentak kesadaran kita semua, menggugah nurani, seolah mempertanyakan masih adakah ruang bagi moralitas dalam politik dunia kini?
POLITIK KEKUATAN DAN BAYANG-BAYANG REALISME
Menilik teori hubungan internasional, praktik dunia modern dapat kita gambarkan lewat teropong realisme; di mana negara acap kali hadir sebagai aktor rasional yang mengejar kepentingannya sendiri.
Melalui kekuatannya (militer, politik, ekonomi, budaya, dan diplomasi) yang dijadikan sebagai modal utama untuk bertahan hidup. Dalam paradigma ini, ”might is right” menjadi semacam hukum tak tertulis: siapa yang kuat, merekalah yang menentukan rule of the game dunia.
BACA JUGA:Tindak Lanjuti Pidato Presiden, BP Taskin Percepat Pelaksanaan MBG di daerah 3T
BACA JUGA:Khofifah Garis Bawahi Konsep Indonesia Incorporated dalam Pidato Presiden Prabowo
Namun, sang presiden menolak logika itu. Ucapan lantang ”might can not be right” seakan mendekonstruksi paham realis yang kerap menjustifikasi dominasi negara-negara besar atas negara-negara kecil.
Di sinilah ia mengusung moralitas sebagai variabel yang tak boleh ditinggalkan dalam politik global. Retorika itu sekaligus mengajak kita untuk merenungkan kembali warisan pemikiran filsuf besar.
Mulai Immanuel Kant (1788) dengan gagasan ”imperatif kategoris” yang meletakkan etika sebagai dasar tindakan hingga John Rawls (1971) dengan ide ”keadilan sebagai fairness”-nya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: