Cs-137 di Tengah Kita

ILUSTRASI Cs-137 di Tengah Kita.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Kasus Pencemaran Radioaktif Cesium-137 di Cikande Masuki Tahap Penyidikan
BACA JUGA:Proses Dekontaminasi Cesium-137 di Cikande Memasuki Tahap Akhir, Warga Zona Merah Segera Direlokasi
Manusia sendiri dapat terkontaminasi zat itu melalui dua cara: eksternal dan internal. Eksternal, bila debu radioaktif tersebut menempel pada tubuh manusia, solusinya tinggal dibersihkan saja. Internal, jika debu radioaktif tersebut dihirup melalui paru-paru atau diasup melalui makanan/minuman yang dikonsumsi.
Kontaminasi internal membuat pancaran radiasi tidak lagi memapar tubuh dari luar, tetapi langsung dari dalam. Kontaminasi itulah yang paling ditakutkan dan sulit diatasi. Mengonsumsi makanan/minuman yang terkontaminasi dosis rendah ada kalanya memang tidak bermasalah.
Tetapi, bila hal itu dilakukan terus-menerus, dapat menyebabkan akumulasi zat radioaktif yang mana dapat membuat tubuh berisiko terkena aneka penyakit degeneratif, kanker, dan sejenisnya.
BACA JUGA:Filipina Selidiki Asal Bubuk Seng Terkontaminasi Radioaktif Cs-137 yang Dikirim ke Indonesia
Terlepas dari itu, perlu dicatat pula, bahwa selain risiko, Cs-137 juga mengandung kegunaan di berbagai bidang. Dalam kedokteran, digunakan untuk radioterapi kanker, dalam dunia industri untuk mengukur ketebalan baja, dan bahkan dalam dunia per-rokok-an pun digunakan untuk mengukur ketebalan kertas rokok.
Faktor-faktor sisi manfaat itulah yang membuat Cs-137 makin menjadi berada di tengah-tengah kita meski Indonesia sendiri tidak memiliki PLTN yang memproduksinya secara komersial. Cs-137 ada karena dunia industri kita membutuhkannya.
FAKTA VS CITRA
Cs-137 dalam bidang kimia atau fisika adalah nama unsur yang netral adanya. Namun, tidak ketika dibawa ke dalam isu nuklir. Zat itu manjadi simbol ”pencemar radioaktif berbahaya”. Kasus Cikande membuktikan hal itu.
FDA AS mencatat bahwa tingkat radioaktivitas yang dideteksi dari udang sebenarnya hanya 68bq/kg (satuan untuk mengukur radioaktivitas yang dipancarkan suatu material per kilogram), yang mana masih jauh di bawah standar bahaya yang ditetapkan AS sendiri, yaitu sebesar 1.200bq/kg.
Artinya, dosis radioaktif sekian masih dalam batas aman untuk dikonsumsi. Namun, AS tetap menolak menerimanya karena tampaknya lebih memprioritaskan dengan citra bahwa apa yang dinamakan ”tercemar” atau ”terkontaminas” itu tetaplah tercemar dan berbahaya meski dalam kadar minim sekalipun, terlebih tercemar Cs-137.
AS pun tidak mau ambil risiko dan lebih memilih tunduk terhadap citra daripada fakta ilmiah. Sikap FDA tersebut tecermin melalui pernyataannya dalam rilis pers seperti di bawah ini:
FDA detected Cs-137 in a single shipment of imported frozen shrimp from PT Bahari Makmur Sejati that did not enter U.S. commerce. The level of Cs-137 detected in the detained shipment was approximately 68 Bq/kg, which is below FDA’s Derived Intervention Level for Cs-137 of 1200 Bq/kg. At this level, the product would not pose an acute hazard to consumers. Avoiding products like the shipment FDA tested with similar levels of Cs-137 is a measure intended to reduce exposure to low-level radiation that could have health impacts with continued exposure over a long period of time. (https://www.fda.gov/frozen-shrimp-cs137-contamination)
Secara logika, kadar radioaktif Cs-137 sebesar 68 Bq/kg yang ditemukan pada udang Indonesia sebenarnya 17 kali lebih rendah daripada batas aman FDA AS, yaitu 1.200 Bq/kg.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: