Pendidikan Karakter, Krisis Adab, dan Cermin Kasus SMA 1 Cimarga
ILUSTRASI Pendidikan Karakter, Krisis Adab, dan Cermin Kasus SMA 1 Cimarga.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Sekolah kehilangan ruhnya sebagai taman kebajikan (virtue garden), bergeser menjadi ladang kekuasaan dan ketakutan.
Refleksi mendalam perlu dilakukan: bagaimana mungkin kita berbicara tentang profil pelajar Pancasila jika para pemimpinnya justru mengabaikan nilai-nilai Pancasila itu sendiri?
Bagaimana mungkin kita berharap agar anak-anak berjiwa nasionalis dan berintegritas jika para pengambil keputusan mendidik dengan contoh korup dan kejam? Pendidikan karakter tidak bisa berjalan dalam sistem yang tidak berkarakter.
Dalam pandangan Bung Karno, politik sejati harus berakar pada ide besar tentang kemanusiaan dan kebangsaan. Ia menegaskan bahwa kekuasaan tanpa nilai adalah kekosongan moral yang berbahaya.
Maka, jika kekuasaan pendidikan dijalankan tanpa nilai, hasilnya bukanlah manusia merdeka, tetapi manusia yang terjajah oleh kepentingan. Karena itulah, pendidikan karakter harus kembali ke akar ideologis bangsa: Pancasila dan kepribadian nasional.
Pendidikan yang berakar pada kearifan lokal dapat menjadi penawar dari segala krisis itu. Di setiap daerah Indonesia, terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi sumber moral masyarakat. Jawa memiliki falsafah ngajeni, tepa salira, dan andhap asor; Sunda memiliki someah hade ka semah; Bugis mengenal siri’ na pacce; dan Bali memegang teguh tat twam asi.
Semua itu adalah benih-benih karakter bangsa yang jika ditumbuhkan kembali dalam pendidikan akan melahirkan generasi beradab dan berjiwa luhur. Pendidikan yang menanamkan nilai kearifan lokal bukanlah langkah mundur, melainkan jalan kembali ke jati diri.
Kita perlu menata kembali paradigma pendidikan nasional. Tujuan pendidikan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kata-kata itu tidak boleh tinggal sebagai slogan. Ia harus dihidupkan melalui tindakan, kebijakan, dan teladan. Kepala sekolah, guru, dan pemimpin daerah harus menjadi figur yang menghidupi nilai-nilai itu –bukan sekadar mengajarkannya.
Kasus SMA 1 Cimarga harus menjadi pelajaran kolektif: kekuasaan tanpa moral hanya akan melahirkan kehancuran. Politik praktis yang menyingkirkan orang-orang berintegritas dari dunia pendidikan sejatinya sedang menggali lubang bagi masa depan bangsa sendiri.
Bila pendidikan tidak lagi membentuk karakter, bangsa akan kehilangan arah dan cita-cita kemerdekaan akan hampa.
Solusinya bukan sekadar reformasi birokrasi, melainkan revolusi nilai. Pendidikan karakter harus ditanamkan kembali sebagai ruh kurikulum dan roh kebijakan. Sekolah mesti menjadi ruang tempat anak-anak belajar beradab, bukan sekadar berprestasi.
Guru perlu didukung untuk menjadi teladan moral, bukan sekadar pelaksana administrasi. Dan, para pemimpin pendidikan harus mengingat pesan Bung Karno: kekuasaan tanpa ide adalah kehampaan dan pendidikan tanpa nilai adalah kematian bangsa.
Pada akhirnya, kasus SMA 1 Cimarga bukan tragedi tunggal. Ia adalah refleksi sosial, tanda bahwa bangsa ini perlu kembali belajar menjadi manusia berkarakter. Seperti pepatah Jawa yang bijak, ”anak polah, bapa kepradah”.
Bila pemimpin rusak, rakyat menanggung akibatnya; bila pendidikan kehilangan arah, bangsa ikut terseret. Maka, mari kita mulai kembali dari hal yang paling mendasar: membangun manusia Indonesia seutuhnya, berakar pada kepribadian nasional, berpucuk pada kearifan lokal, dan berbuah pada kemuliaan budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: