Pendidikan Karakter, Krisis Adab, dan Cermin Kasus SMA 1 Cimarga
ILUSTRASI Pendidikan Karakter, Krisis Adab, dan Cermin Kasus SMA 1 Cimarga.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:80 Tahun Merdeka, Quo Vadis Pendidikan Nasional?
Sementara itu, politik praktis hanyalah kekuasaan tanpa ide, permainan tanpa nilai, yang tujuannya semata-mata adalah mempertahankan kedudukan dan keuntungan pribadi.
Fenomena yang terjadi di SMA 1 Cimarga memperlihatkan bagaimana politik praktis telah merambah ruang pendidikan. Para pemimpin lokal yang lahir dari sistem politik kotor sering kali tidak berakar pada moralitas publik.
Mereka menegakkan kekuasaan dengan prinsip machiavellian: the end justifies the means –tujuan menghalalkan segala cara. Keputusan yang semestinya didasarkan pada prinsip etis dan rasional justru diambil atas dasar balas jasa politik, kepentingan kelompok, atau rasa tidak suka pribadi.
BACA JUGA:Catur Pusat Pendidikan ala Mendikdasmen
BACA JUGA:Dilema Moral dalam Pendidikan dan Politik
Maka, pendidikan kehilangan marwahnya sebagai lembaga pembentuk karakter bangsa, berubah menjadi alat kekuasaan yang mudah dimanipulasi.
Dalam konteks ini, pepatah Jawa ”anak polah, bapa kepradah” menemukan relevansinya yang dalam. Artinya, ketika anak berbuat salah, orang tua turut menanggung akibatnya.
Jika kita terjemahkan ke dalam tataran sosial, perilaku para pemimpin politik yang menyimpang menjadi cermin rusaknya nilai pendidikan yang melahirkan mereka. Para pemimpin hari ini adalah ”anak-anak” dari sistem pendidikan kemarin.
Bila mereka tidak jujur, tidak beradab, tidak berjiwa merdeka, pendidikanlah yang ikut terseret, ikut kepradah. Kita sedang menuai buah dari pohon yang kita tanam sendiri: pohon pendidikan yang kehilangan akar moralnya.
Krisis adab dan budi pekerti pasca pandemi Covid-19 turut memperparah keadaan. Masa pandemi yang panjang telah mengubah wajah interaksi sosial kita –anak-anak belajar dari layar, nilai-nilai sopan santun tereduksi oleh algoritma, dan empati perlahan menipis di balik ketergantungan pada teknologi.
Ketika pendidikan berubah menjadi sekadar proses daring tanpa sentuhan kepribadian, yang tumbuh bukanlah manusia berkarakter, melainkan individu yang terpisah dari nilai-nilai kemanusiaan.
Kini, di banyak sekolah, kita menyaksikan fenomena siswa yang kehilangan rasa hormat kepada guru, guru yang kehilangan karisma, dan pemimpin pendidikan yang kehilangan arah moral.
Kita seolah lupa bahwa pendidikan tidak hanya mengajar membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab sebagai manusia dan warga bangsa.
Pendidikan seharusnya menjadi benteng terakhir dari moral publik, tempat nilai-nilai seperti kejujuran, gotong royong, dan tanggung jawab sosial dirawat dan ditumbuhkan. Namun, ketika politik praktis menyusup dan memutus kepala sekolah karena faktor non-pedagogis, benteng itu runtuh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: