Harian Disway di China International Press Communication Center (CIPCC) (72): Yishala, Gerbang Waktu di Lembah Jinsha

Harian Disway di China International Press Communication Center (CIPCC) (72):  Yishala, Gerbang Waktu di Lembah Jinsha

SENIMAN SUKU YI melantunkan instrumen di alun-alun Desa Yishala, Selasa, 21 Oktober 2025.-Doan Widhiandono-

Kami lantas menuju museum desa. Di kompleks museum itu ada kantor polisi. Juga kantor pemerintahan desa. Ya, kira-kira seperti kantor kelurahan, lah. Di museum itulah kami mendapat banyak data tentang tempat itu.

Yishala bukan sekadar desa biasa. Sejarahnya meluas hingga 1.800 tahun lalu. Kawasan itu dulu disebut Bumao. Di situlah Zhuge Liang, negarawan di era Tiga Kerajaan (181-234 SM), menyeberangi wilayah barat daya pada ekspedisi Nanzhong. Sisa perkemahan pasukannya masih dikenali di Gunung Fangshan yang menjulang di dekat desa.

Setelah pemberontakan berhasil diredam, pasukan lokal Yi-Lipuo ditempatkan untuk menjaga jalur strategis. Itulah yang lantas menjadi cikal bakal permukiman.

BACA JUGA:ITCC Lepas 250 Calon Mahasiswa ke Tiongkok, Gelar Sharing Session Knowledge is Power Bersama Dahlan Iskan

BACA JUGA:Pelepasan 250 Mahasiswa ITCC Diiringi Kesenian Khas Dayak dan Peluncuran Kompetisi Bahasa Mandarin

Sekitar 600 tahun lalu, pada masa Dinasti Ming, pasukan Han ditempatkan di Yishala setelah operasi Hongwu Pingdian. Mereka menikahi perempuan Yi, mempertahankan marga Han, dan mengikuti klan pihak perempuan. Dari perkawinan itu lahirlah budaya campuran yang kini dikenal sebagai Li Po Culture. Yakni, perpaduan adat Yi pegunungan dan budaya Han Jiangnan. 

Museum itu juga menjelaskan tentang betapa strategisnya Yishala sebagai bagian dari Jalur Kuda Teh Kuno (Ancient Tea Horse Road). Artinya, Yishala menjadi bagian penting perdagangan teh dan kuda di masa silam.

Museum itu juga memajang aneka artefak sejak zaman Dinasti Ming. Juga dokumentasi budaya suku Yi. Misalnya, pelana kuda, cangkul, bajak, atau karakter busana etnis Yi yang warna-warni. Terlihat bahwa suku tersebut memang lekat dengan budaya agraris khas pegunungan.

Harus diakui, museum itu bukan hanya sumber informasi. Ia juga bukti kepedulian pemerintah dan warga dalam merawat sejarah. Pemerintah menyediakan fasilitas, papan informasi bilingual, dan jalur kunjungan yang rapi. Sedangkan ’’tugas’’ warga adalah menjaga otentisitas bangunan, ritual, dan bahasa Yi.


KOLEKSI MUSEUM YISHALA menampilkan aneka alat pertanian suku Yi.-Doan Widhiandono-

Selepas dari museum, musik tradisional Yi mengalun. Sekelompok seniman bermain di alun-alun desa. Tepat di pinggir sungai. Lantunan instrumen gesek dipadu dengan petikan rebana dan tabuhan simbal kecil.

Dan itu bukan satu-satunya sajian seni hari itu. Empat penari kemudian muncul. Semuanya lelaki. Semuanya sepuh.

Tapi, gerakan mereka masih energik. Dengan melantunkan nyanyian kuno, mereka bergerak rancak. Tangan mereka memegang rebana tipis yang kerap dipukul dengan serentak.

Pakaian penari tersebut adalah kulit kambing. Ya, itulah tarian yang dulu berhubungan dengan prosesi persembahan untuk para leluhur.

BACA JUGA:Trump Bertemu Xi Jinping, Tarif untuk Tiongkok Dipangkas 10 Persen

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: