Bupati Hybrid

Bupati Hybrid

ILUSTRASI Bupati Hybrid.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Festival di mana-mana, anak muda berkreasi tanpa batas, UMKM naik kelas, dan reog jadi makin mendunia. Ia orang media dan EO sejati yang kreatif mesti telah menjadi bupati. Bedanya, dulu panggungnya di lapangan. Kini panggungnya seluruh Kabupaten Ponorogo.

BACA JUGA:Bupati Kancil

BACA JUGA:Bupati Adil Di-OTT, Dulu Ia Penegak Keadilan

Keberhasilan Ponorogo adalah buah dari model kepemimpinan yang lahir dari jiwa kreator. Sugiri bukan sekadar birokrat yang pandai mengatur anggaran. Tapi, juga ”creative storyteller”. Seorang yang mampu membangun narasi dan kebanggaan lokal menjadi modal sosial yang produktif.

Ia mencerminkan imajinatif governance. Bentuk kepemimpinan yang menggabungkan empati sosial, kemampuan komunikasi massa, dan kreativitas dalam membangun identitas daerah. 

Seperti sutradara yang menata aktor sosial, komunitas, hingga narasi publik agar Ponorogo tampil ”hidup” di panggung nasional dan global.

Ia paham bahwa Ponorogo tak bisa bersaing lewat industri besar atau infrastruktur megah. Ia justru menjadikan budaya lokal (reog) sebagai basis ekonomi kreatif, memperkuat ekosistem seniman, UMKM, dan pariwisata budaya.

Festival dan branding kultural tak lagi bersifat seremonial. Tapi, menjadi instrumen pembangunan. Ia menjadikan media sosial, kolaborasi lintas sektor, dan diplomasi kebudayaan untuk menegaskan identitas Ponorogo sebagai pusat seni rakyat yang relevan dengan dunia modern.

Bandingkan Sugiri dengan Abdullah Azwar Anas. Bupati Banyuwangi dua periode yang pernah menjadi menteri PAN-RB. Ia tak hanya dikenal sebagai bupati kreator budaya, tetapi juga sebagai manajer transformasi struktural. 

Ia membangun Banyuwangi dengan pendekatan governance innovation: melalui reformasi birokrasi, digitalisasi pelayanan publik, hingga tata kelola pariwisata berbasis data dan integrasi lintas OPD. 

Jika Sugiri bisa disebut ”seniman pemerintahan”, Anas adalah ”arsitek sistem”. Keduanya sama-sama bupati inovatif. Hanya basis inovasinya yang berbeda. 

Sugiri berangkat dari narasi dan emosi publik, Anas dari sistem dan prosedur pemerintahan modern. Sugiri menggerakkan masyarakat lewat semangat dan kebanggaan identitas. Anas membangun aparatur lewat disiplin tata kelola dan efisiensi.

Belajar dari keduanya, masa depan kepemimpinan daerah membutuhkan sosok bupati hybrid. Kepala daerah dengan multikompetensi: manajer, kreator, dan kolaborator. Bukan sekadar pandai mengatur anggaran seperti birokrat klasik. Apalagi, hanya jago kampanye seperti politikus murni. 

Mereka harus memiliki kemampuan naratif. Agar bisa mengubah potensi lokal menjadi cerita besar yang menginspirasi. Juga, perlu kapasitas manajerial untuk menata sistem pemerintahan agar ide dapat dijalankan secara berkelanjutan.

Dibutuhkan juga kecerdasan kolaboratif agar membangun jejaring antara pemerintah, komunitas, dan dunia usaha. Terakhir, pemimpin daerah harus memiliki keberanian eksperimental biar berani mencoba hal baru tanpa takut gagal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: