Amnesty International dan AKSI Tolak Gelar Pahlawan Soeharto dan Sarwo Edhi Wibowo
Presiden Soeharto resmi mendapatkan gelar Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik.-disway.id-
JAKARTA, HARIAN DISWAY- Amnesty International Indonesia bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak dinobatkannya Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo sebagai Pahlawan Nasional, Senin, 10 November 2025.
Keputusan Presiden Prabowo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dinilai sebagai pemutarbalikan sejarah. Sekaligus pengkhianatan cita-cita reformasi 1998 serta penghinaan jutaan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru.
”Kami menegaskan, pemberian gelar pahlawan tersebut bertentangan dengan mandat konstitusi dan keadilan yang diamanatkan Reformasi 1998,” kata Direktur AII, Usman Hamid.
Sebagai manusia, kata Usman, tentu Soeharto punya “kesalahan” sehingga dapat dimaafkan. Masalahnya adalah ini bukan “kesalahan”, tapi kejahatan yang tergolong paling serius (most serious crimes). ”Yang secara hukum tak bisa diputihkan,” katanya.
BACA JUGA:Tutut Soeharto Tanggapi Pro-Kontra Gelar Pahlawan Nasional untuk Ayahnya
BACA JUGA:Soeharto Resmi Sandang Gelar Pahlawan Nasional, Diakui Atas Perannya di BKR Yogyakarta
Tak hanya itu, Usman menyebut pemberian gelar ini sekaligus melawan agenda negara yang ingin menegakkan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).”Keputusan ini juga diambil oleh presiden yang pernah memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan Soeharto, sehingga memperkuat kesan bahwa negara kini kembali tunduk pada kekuasaan yang menindas dan feodal,” paparnya.
Dukungan sejumlah pihak, seperti Menteri Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang juga Ketua Umum Partai Demokrat terhadap gelar pahlawan Suharto juga tidak lepas dari kepentingan keluarga. Mengingat, Sarwo Edhie Wibowo adalah kakek AHY sendiri.
Penetapan ini sarat dengan kesewenang-wenangan dan praktik nepotisme. Menobatkan Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan berarti mengabaikan penderitaan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat. Sekaligus menormalkan impunitas yang telah lama mengakar di negeri ini.
Selama tiga dekade lebih, rezim Soeharto bertanggung jawab atas berbagai kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat. Termasuk Pembantaian massal 1965–1966, Penembakan misterius (Petrus) 1982–1985, Tragedi Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989, Kekerasan sistematis di Aceh, Timor Timur, dan Papua, hingga Penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997–1998.
”Jutaan korban dan keluarganya hingga kini belum mendapatkan kebenaran, keadilan, maupun pemulihan,” paparnya. Sementara negara, telah mengakui berbagai peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat. Baik melalui Ketetapan MPR pada awal reformasi maupun pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada Januari 2023. Namun, hingga saat ini, tak satu pun pelaku utama, termasuk Soeharto, pernah dimintai pertanggungjawaban.
Pemberian gelar pahlawan ini tidak dapat dipisahkan dari upaya sistematis untuk menulis ulang sejarah Indonesia dengan menghapus jejak kekerasan negara.
Menteri Kebudayaan yang turut mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan kini juga memimpin proyek penulisan ulang sejarah nasional. Yang dikhawatirkan akan menyingkirkan kisah penderitaan korban dan perlawanan rakyat terhadap otoritarianisme Orde Baru. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: