Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta: Pribadi yang Tertutup dan Sering Menyendiri

Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta: Pribadi yang Tertutup dan Sering Menyendiri

Melalui Konferensi Pers, Polda Metro Jaya membeberkan jenis bom dan detonator yang digunakan NF, pelaku peledakan SMAN 72 Jakarta yang melukai 60 orang-Disway.id/Rafi Adhi-

Tim Densus 88 Antiteror Polri memastikan peristiwa ledakan tersebut tidak berkaitan dengan jaringan terorisme manapun, melainkan murni tindak pidana individual.

AKBP Mayndra Eka Wardhana selaku juru bicara Densus 88 menambahkan, fenomena serupa kini banyak terjadi di berbagai negara.

Menurutnya, remaja semakin rentan terhadap paparan ideologi kekerasan di dunia maya yang kemudian mendorong mereka melakukan tindakan ekstrem tanpa afiliasi langsung dengan kelompok teroris mana pun.

Terinspirasi dari Aksi Kekerasan di Luar Negeri

Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa pelaku telah lama menaruh minat terhadap aksi kekerasan dan penembakan massal yang terjadi di luar negeri.

Sejak awal tahun, pelaku diketahui sering mengakses berbagai situs yang membahas peristiwa-peristiwa serupa.

“Yang bersangkutan mulai mencari informasi tentang aksi kekerasan karena merasa tertindas, kesepian, dan memiliki dendam atas perlakuan yang diterimanya,” terang Mayndra melanjutkan.

BACA JUGA:Kasus Ledakan SMAN 72 Jakarta, Benarkah Korban Bully Lebih Rentan Meniru Konten Ekstrem?

BACA JUGA:Ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara: Pelaku Korban Bully

Kecenderungan itu kemudian membuatnya bergabung dalam komunitas media sosial yang berisi orang-orang dengan ketertarikan yang sama.

Dari sana, ia mengenal sejumlah pelaku serangan dari luar negeri yang kemudian menjadi panutannya.

Pada senjata mainan yang dibawanya saat kejadian, polisi menemukan coretan nama-nama seperti Eric Harris, Dylan Klebold, Dylann Storm Roof, Alexandre Bissonnette, Vladislav Roslyakov, dan Brenton Tarrant yang merupakan nama-nama pelaku penembakan massal di Amerika, Kanada, dan Rusia.

“Ia hanya mempelajari dan meniru tindakan ekstremisme yang dilakukan para pelaku itu. Beberapa simbol dan pose yang ditemukan hanya sebatas inspirasi,” jelas Mayndra.

Menurutnya, pola pikir pelaku tidak terikat pada satu ideologi tertentu, melainkan campuran dari berbagai paham maupun ideologi menyesatkan yang ia temukan di jejaring internet.

Mayndra menyimpulkan, tindak pidana ABH merupakan hasil inspirasi acak dari beberapa kasus kekerasan di dunia maya.

“Fenomena ini menjadi peringatan bagi kita semua tentang meningkatnya paparan konten kekerasan di dunia digital,” tegasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: