Menyeduh Inklusi di Secangkir Kopi: Belajar dari Cafe Cerita Spectra

Menyeduh Inklusi di Secangkir Kopi: Belajar dari Cafe Cerita Spectra

--

Di tengah hiruk-pikuk kafe kekinian yang berlomba-lomba tampil estetik dan viral di media sosial, hadir sebuah kafe yang memilih arah berbeda. Café Cerita Spectra, sebuah kafe kecil di Malang, menawarkan sesuatu yang jauh lebih bermakna daripada sekadar racikan kopi dan interior instagramable: ia menghadirkan ruang untuk inklusi sosial.

Kafe ini berdiri dengan visi menjadi wadah bagi individu dengan disabilitas dan autisme untuk berdaya. Di balik meja barista, di dapur, bahkan di balik meja kasir, kita bisa menemukan pekerja dengan kebutuhan khusus yang bekerja setara dengan rekan-rekan lainnya. Mereka bukan sekadar “dilibatkan” untuk memenuhi kuota sosial, melainkan benar-benar menjadi bagian dari denyut kehidupan kafe.

Pemilik kafe, yang juga seorang kepala sekolah di SLB River Kids, membangun ruang ini bukan sekadar untuk bisnis, melainkan sebagai tempat berinteraksi, berkarya, dan membuka kesempatan kerja bagi teman-teman difabel.

Café Cerita Spectra juga menyediakan layanan konsultasi autisme dan disabilitas, serta berkolaborasi dengan berbagai komunitas seperti Omah Gembira dan Bolu Legenda. Ini bukan sekadar usaha kuliner ini adalah bentuk nyata dari gerakan sosial.

Namun, inklusi bukan perkara mudah. Dari hasil wawancara dengan karyawan difabel, terlihat bahwa semangat baik belum selalu sejalan dengan praktik di lapangan.

BACA JUGA:6 Hal Home Cafe Vibes yang Bikin Serasa Punya Kafe Sendiri di Rumah

Rio, seorang pekerja tunarungu di sana, mengaku masih menghadapi hambatan komunikasi karena belum tersedianya juru bahasa isyarat (JBI) di tempat kerja. Bahasa isyarat belum menjadi bahasa bersama di antara karyawan, sehingga komunikasi sering terhambat, terutama saat rapat atau melayani pelanggan.

Tantangan seperti ini mengingatkan kita bahwa inklusi bukan hanya tentang membuka pintu, tapi juga memastikan semua orang bisa benar-benar masuk dan berpartisipasi. Kesetaraan sejati tidak berhenti pada pemberian kesempatan, melainkan juga pada penyediaan akses—akses komunikasi, pelatihan, dan lingkungan kerja yang mendukung kebutuhan setiap individu.

Di sisi lain, masyarakat sekitar menunjukkan dukungan yang luar biasa. Banyak pelanggan datang bukan karena iba, tapi karena menghargai kualitas dan semangat yang ditawarkan. Bahkan, beberapa lembaga sosial dan dinas terkait telah memberi apresiasi atas konsep kafe ini. Ini bukti bahwa masyarakat kita sebenarnya siap untuk menjadi lebih inklusif asal diberi ruang untuk memahami dan berinteraksi.

Meski begitu, Café Cerita Spectra masih perlu melangkah lebih jauh. Pelatihan bahasa isyarat bagi seluruh karyawan, penyediaan JBI secara berkala, serta sistem pemesanan berbasis teks atau visual bisa menjadi langkah konkret. Kafe ini juga perlu memperluas promosi agar lebih dikenal luas, tidak hanya lewat Instagram dan TikTok, tetapi juga lewat kampanye inklusi yang mengedukasi publik.

Gerakan inklusi sosial bukan tanggung jawab satu pihak saja. Dunia kerja harus menjadi ruang di mana setiap individu, dengan segala keberagamannya, bisa berkontribusi dan berkembang. Kafe seperti Cerita Spectra memberi kita pelajaran berharga bahwa inklusi bisa dimulai dari hal sederhana dari secangkir kopi, dari meja kasir, dari sapaan yang hangat.

Mungkin di luar sana masih banyak Café Cerita Spectra lain yang belum dikenal. Sudah saatnya kita, sebagai masyarakat, ikut memperluas cerita mereka. Sebab inklusi sejati bukan hanya tentang memberi tempat bagi yang berbeda, tapi tentang menyeduh kemanusiaan di setiap interaksi kita. (*)

)*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.(Kelompok 1 KWN)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: