Improvisasi Politik Luar Negeri Indonesia di Persimpangan Global

Improvisasi Politik Luar Negeri Indonesia di Persimpangan Global

ILUSTRASI Improvisasi Politik Luar Negeri Indonesia di Persimpangan Global.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dalam situasi itu, Indonesia semestinya tampil bukan sekadar sebagai peserta forum, melainkan sebagai arsitek nilai: membawa pesan tentang keseimbangan, keberlanjutan, dan solidaritas global. 

Namun, yang tampak justru kebingungan dalam menentukan prioritas. Diplomasi ekonomi bergerak sendiri, diplomasi pertahanan tampil menonjol, sementara diplomasi nilai tenggelam di balik pragmatisme.

MEMBANGUN ARAH BARU MELALUI REFORMULASI BEBAS-AKTIF 5.0

Alih-alih mengonstruksi ide dan konsep secara normatif, tantangan ke depan terutama bagi pemangku kepentingan di kebijakan luar negeri khususnya Kemenlu RI justru untuk dapat mereformulasi prinsip bebas-aktif agar selaras dengan realitas multipolar.

Bebas-aktif versi baru harus visionary-assertive: bebas menentukan jalan, tetapi berani menegaskan nilai-nilai sesuai yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa ”penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Terdapat empat langkah strategis yang dapat ditempuh Indonesia. 

Pertama, koherensi kebijakan luar negeri. Kemenlu harus kembali menjadi pusat koordinasi lintas kementerian dan sektor strategis. 

Kedua, kepemimpinan moral Global South. Indonesia perlu menghidupkan kembali roh Bandung 1955 dalam konteks baru: diplomasi solidaritas yang berbasis keadilan global. 

Ketiga, integrasi agenda pertahanan, ekonomi, dan lingkungan. Diplomasi modern tidak bisa parsial. Ia harus menjadi sintesis antara keamanan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. 

Keempat, mengembalikan identitas Indonesia adalah negara kepulauan dengan diplomasi maritim melalui kerja sama jalur maritime corridor dan blue economy pada BRICS+ untuk memperkuat konektivitas global. 

Langkah terakhir tentu relevan dengan penghidupan kembali visi Poros Maritim Dunia akan menegaskan kembali posisi Indonesia sebagai kekuatan maritim yang damai sekaligus produktif, bukan sekadar pasar dalam rivalitas kekuatan besar.

Kedaulatan laut harus menjadi jantung baru politik luar negeri kita.

Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa tahun pertama Prabowo-Gibran dapat disebut fase aktivitas dengan sarat gerakan dan simbolisasi. 

Adapun tahun kedua harus menjadi fase orientasi dan artikulasi visi global Indonesia yang harus keluar dari bayang-bayang improvisasi menuju strategi yang berpijak pada nilai. 

Sebab, pada prinsipnya, diplomasi bukan soal siapa yang diajak bicara, melainkan seberapa jauh kita tahu apa yang hendak dikatakan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: