Dari Kejahatan Korupsi ke Kebaikan Pendidikan
Yayan Sakti Suryandaru.-Dok. Harian Disway-
Dukungan terhadap ide yang memiliki nilai komunikasi politik tinggi ini harus beriringan dengan kesadaran akan tantangan tata kelola yang masif. Sejarah pemulihan aset di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa proses penyitaan, penilaian, hingga alokasi dana sangat rentan terhadap penyimpangan.
Inilah tantangan terbesar: menjaga agar proses Legitimasi Simbolik ini tidak luntur oleh praktik korupsi baru. Dana hasil korupsi tidak boleh menjadi lahan subur bagi korupsi baru.
Kita dapat berkaca pada pengalaman internasional. Di Filipina, proses pemulihan aset keluarga Marcos yang masif memakan waktu puluhan tahun. Sebagian dana yang berhasil dipulihkan diarahkan untuk program bantuan petani.
BACA JUGA:Negara Harus Hadir untuk Pesantren
Meskipun niatnya baik, proses penjualan aset dan alokasinya sering kali diwarnai kontroversi. Pengalaman ini mengajarkan bahwa niat baik yang tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang kuat dapat merusak narasi restoratif yang telah dikomunikasikan kepada publik.
Kunci keberhasilan terletak pada mekanisme akuntabilitas yang ketat. Jika dana sitaan dicampuradukkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) reguler tanpa "pagar" yang jelas, ia berpotensi besar untuk menghilang dalam birokrasi. Bahkan, bisa saja disalahgunakan melalui proyek-proyek pendidikan fiktif.
Pilar Utama Pemanfaatan Dana
Untuk memastikan integritas dan keberlanjutan ide mulia ini, pemerintah wajib merancang sebuah mekanisme pengelolaan dana yang terpisah dan terjamin. Legitimasi yang telah dibangun melalui simbol harus dikuatkan dengan integritas manajerial.
Penulis memetakan setidaknya ada tiga pilar utama yang harus dipenuhi dalam pemanfaatan dana sitaan ini. Pertama, transparansi penuh proses asset. Pemerintah harus menjamin valuasi dan penjualan aset berlangsung secara transparan.
Proses penilaian dan pelelangan aset sitaan harus menggunakan standar internasional dan diumumkan secara terbuka (platform digital) untuk setiap transaksi, mulai dari penetapan harga hingga identitas pembeli.
Kedua, alokasikan dalam dana khusus dan spesifik (earmarking). Dana harus memiliki alokasi spesifik dan terperinci yang tidak dapat dialihkan untuk keperluan lain.
BACA JUGA:Membangun Resiliensi Digital Pahlawan Devisa
Dana hasil korupsi harus menjadi sumber pembiayaan yang ditujukan untuk proyek pendidikan tertentu, misalnya, pembangunan infrastruktur sekolah di daerah 3T atau pendanaan beasiswa riset dengan tujuan yang jelas terukur.
Terakhir, perlu ada audit dan pengawasan public secara real-time. Sebaiknya sistem pelaporan keuangan harus dapat diakses oleh publik secara real-time, melibatkan auditor independen dan masyarakat sipil. Hal ini memungkinkan masyarakat memantau ke mana setiap rupiah dari uang koruptor dialirkan, menjamin akuntabilitas tertinggi.
Penulis yakin, dengan tiga pilar utama transparansi penuh aset, alokasi dana khusus, dan pengawasan publik real-time, negara menunjukkan keseriusan untuk tidak hanya menghukum, tetapi juga melakukan pemulihan secara bermartabat. Wallahu a'lam bishawab.***
*) Dosen di Departemen Komunikasi, FISIP-Universitas Airlangga, Surabaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: