Bos Kerupuk Dirampok-Dibunuh Bekas Pegawai: Awas, Bias Keadilan

Bos Kerupuk Dirampok-Dibunuh Bekas Pegawai: Awas, Bias Keadilan

ILUSTRASI Bos Kerupuk Dirampok-Dibunuh Bekas Pegawai: Awas, Bias Keadilan -Arya-Harian Disway-

Maia Szalavitz penulis buku Unbroken Brain: A Revolutionary New Way of Understanding Addiction. Dia mengutip beberapa teori dari pakar psikologi sosial soal publik menyalahkan korban kejahatan.

Dia membuka tulisannya dengan kalimat begini: ”Kita ingin dunia adil. Kebaikan akan dihargai, kejahatan akan dihukum. Akibatnya, kita menyalahkan korban sebagai kemalangan.”

Di situ dia mengutip teori Prof Sherry Hamby, guru besar psikologi di The University of the South di Sewanee, Tennessee, Amerika Serikat (AS).

Prof Hamby menyebut hal itu sebagai ”bias dunia yang adil”. Istilah tersebut kali pertama dirumuskan Prof Melvin J. Lerner pada awal 1960-an. Prof Lerner, guru besar psikologi sosial di The University of Waterloo, Ontario, Kanada, 1970–1994. Ia ”pelopor studi psikologi tentang keadilan”.

Bias dunia yang adil (BDA) terjadi karena otak kita mendambakan prediktabilitas. Karena itu, kita cenderung menyalahkan korban ketidakadilan (bukan korban kejahatan) daripada menolak pandangan dunia yang menyatakan bahwa kebaikan akan dihargai dan kejahatan akan dihukum.

Prof Hamby: ”Ada dorongan yang sangat kuat bagi orang-orang untuk berpikir bahwa hal-hal baik terjadi pada orang baik. Di sinilah kesalahpahaman muncul. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Anda, dianggap publik, Anda pasti telah melakukan sesuatu yang buruk sehingga pantas mendapatkan hal buruk itu.”

BDA terjadi dalam situasi apa pun, ketika korban disalahkan atas kemalangan mereka sendiri. Apakah itu pelecehan, serangan seksual, kejahatan, pembunuhan, atau kemiskinan.

Eksperimen Prof Lerner pada 1960-an, ia membikin suatu pertunjukan di depan beberapa perempuan. Pertunjukannya, ada seorang pelajar pria (diperankan aktor) diberi pertanyaan oleh guru. Jika jawaban salah, pelajar dihukum. 

Ternyata jawaban pelajar itu salah. Lalu, ia dihukum sengatan listrik. Ia menjerit kesakitan. Sengatan setrum berulang-ulang. Ia meronta-ronta.

Puluhan penonton perempuan dibagi dua grup. Grup pertama sudah diberi tahu oleh tim riset, bahwa sengatan listrik itu bohong-bohongan. Pelajar tersebut aktor yang pura-pura kesakitan. Grup kedua tidak diberi tahu hal itu.

Hasilnya, komentar grup pertama tidak menyalahkan korban. Mereka menganggap, hukuman itu adil. 

Grup kedua menyalahkan korban. Mereka menganggap, pantas korban disetrum karena kesalahannya sendiri. Mereka bahkan merendahkan korban.

Padahal, hukuman itu tidak adil untuk ukuran suatu pertanyaan, yang bisa saja si pelajar tidak tahu jawabannya.

Dari situ disimpulkan, dalam suatu tindak kejahatan, persepsi masyarakat bisa menyalahkan korban. Karena korban melakukan kesalahan sehingga dijahati orang (pelaku). 

Anggapan itu terbalik. Norma internasional menyatakan, kebaikan harus dihargai, kejahatan harus dihukum. Bukan menyalahkan korban.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: