Tekanan Sosial di Balik Gaya Hidup Hijau

Tekanan Sosial di Balik Gaya Hidup Hijau

ILUSTRASI Tekanan Sosial di Balik Gaya Hidup Hijau.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Sistem ekonomi, misalnya, melihat isu lingkungan bukan pertama-tama sebagai upaya penyelamatan bumi, melainkan sebagai peluang pasar yang menjanjikan. Produk hijau, kemasan berlabel sustainable, atau program loyalitas berbasis eco-friendly menjadi strategi bisnis yang menguntungkan. 

Sementara itu, sistem media memiliki logika berbeda, apa pun yang hijau mudah dijadikan konten yang menarik perhatian. Sebab, publik tengah gandrung pada narasi keberlanjutan. Gaya hidup hijau pun tampil sebagai citra yang indah di layar, terkurasi dengan baik untuk membentuk impresi tertentu. 

Di sisi lain, masyarakat sebagai sistem sosial membangun norma baru. Gaya hidup hijau yang semula bersifat sukarela kini berubah menjadi ukuran sosial berupa sesuatu yang sebaiknya dilakukan jika ingin diterima di lingkaran sosial tertentu. 

Ketika tiga sistem itu –ekonomi, media, dan masyarakat– beroperasi bersamaan, tekanan untuk menjadi ”hijau” tidak lagi hanya berasal dari keinginan pribadi, tetapi dari struktur yang terus memproduksi standar-standar baru yang harus diikuti. 

Beban perubahan lingkungan dialihkan kepada individu. Konsumen diharapkan mengubah dunia, sementara sistem produksi dan industri tetap menjadi penyumbang terbesar kerusakan lingkungan. 

Itulah yang disebut Luhmann sebagai individualisasi tanggung jawab, beban besar yang jatuh ke pundak orang biasa, bahkan sering tanpa mereka sadari.

ECO-ANXIETY: BEBAN PSIKIS DI BALIK GAYA HIDUP BERKELANJUTAN

Tidak mengherankan jika muncul fenomena eco-anxiety, yakni kecemasan karena merasa belum cukup hijau. Tekanan itu datang dari tiga arah: industri yang menciptakan kebutuhan palsu, media yang memolesnya menjadi gaya hidup wajib, dan masyarakat yang menjadikannya ukuran moral.

Akibatnya, kita sibuk memperbaiki hal-hal kecil layaknya membawa tumbler atau mengumpulkan totebag, sementara sumber emisi terbesar tetap berada di ruang yang tidak tersentuh kampanye moral: energi, logistik, dan industri. 

Kita merasa benar secara moral, tetapi bumi tidak otomatis lebih aman. Marcuse menyebutnya sebagai pembiusan kesadaran, ketika ritual hijau menggantikan perubahan struktural.

MENGEMBALIKAN GAYA HIDUP HIJAU KE AKAR KESADARANNYA

Gaya hidup hijau tidak seharusnya membawa tekanan sosial. Ia harus menjadi ruang belajar, ruang berproses, dan ruang bagi kepedulian kolektif, bukan ruang untuk saling menghakimi dan menciptakan kecemasan baru. 

Ketika ramah lingkungan berubah menjadi tekanan sosial, ia kehilangan substansi dan berubah menjadi sekadar kompetisi moral.

Pada akhirnya, yang membuat gerakan ramah lingkungan terasa membebani bukanlah tumbler atau totebag itu sendiri. 

Bebannya muncul ketika kesadaran berubah menjadi tekanan, ketika ajakan berubah menjadi penilaian, ketika kepedulian ekologis direduksi menjadi penampilan konsumen. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: