Menjaring Rojali

Menjaring Rojali

SUASANA Late Night Sale di Tunjungan Plaza Pakuwon Group.-Arif Afandi untuk Harian Dsiway-

Saat itu belum ada belanja online. Toko digital yang setiap saat menggelar pesta diskon. Perang harga tanpa membuat orang antre berjam-jam untuk datang ke mal dan bayar di kasir. Berburu diskon sambil rebahan. Tanpa harus berdandan. Hanya pakai daster, bisa belanja pakaian dan alat kecantikan.

Kini pusat perbelanjaan harus lebih kreatif lagi. Tidak cukup hanya dengan menggelar pesta diskon. Harus menawarkan pengalaman berlebih sehingga mereka yang datang mau merogoh koceknya untuk belanja. Tidak sekadar jalan-jalan, ngadem, dan tanya-tanya.  

Dalam beberapa tahun terakhir, pusat perbelanjaan memang menghadapi tekanan serius. Bukan hanya karena e-commerce yang makin agresif. Melainkan juga karena perubahan perilaku konsumen. Daya beli yang tertekan membuat orang makin selektif. Datang ke mal masih. Tapi, belanja tidak lagi seperti dulu. 

Mal tetap ramai. Namun, banyak kasir yang sepi. Traffic pusat makanan naik. Namun, outlet pakaian dan lainnya belum tentu dikunjungi orang. Itu realitas baru di ritel fisik. Di titik itulah, strategi holiday sale, early bird, dan late night shopping dimainkan. 

Diskon besar dirancang untuk memancing niat beli yang tertahan. Jam belanja diperpanjang untuk mengakomodasi gaya hidup pekerja urban. Batas waktu promo diciptakan untuk membangun urgensi dan FOMO (fear of missing out). Secara teori, strategi itu masuk akal –bahkan penting– sebagai upaya melawan arus penurunan.

Saya yakin strategi itu efektif untuk menarik orang datang. Tapi, belum tentu efektif mengonversi kunjungan menjadi transaksi. Di sanalah batasannya. Diskon tidak otomatis menembus kehati-hatian konsumen yang sedang menata ulang prioritas keuangan. Apalagi, jika harga online tetap lebih murah. Atau, jika diskon terasa ”itu-itu saja”.

Tantangan mal hari ini tidak sekadar menghadirkan promo. Tapi, juga mengubah pengalaman. Rojali dan rohana tidak selalu harus dianggap masalah. Mereka bisa menjadi aset jika mal mampu mengonversi pengalaman menjadi nilai. 

Lewat apa? Melalui event, hiburan, kuliner unik, layanan yang personal, dan alasan emosional untuk membeli sekarang.

Di masa keemasan mal, orang datang untuk belanja. Kini orang belanja hanya jika sudah datang. Perbedaannya halus, tapi menentukan. Strategi seperti late night shopping bisa membuka pintu. Namun, membuat rojali berubah jadi real buyer, mal harus menawarkan lebih dari sekadar potongan harga.

Yang pasti, Ketua APPBI Surabaya Sutandi Purnomosidi tak menganggap fenomena rojali dan rohana bukan tantangan di kota ini. ”Di Surabaya tak ada rojali dan rohana. Mereka KTP-nya DKI,” tutur direktur komersial dan marketing Pakuwon Group itu.

Buktinya? Saat menggelar late night shopping di Tunjungan Plaza (Pakuwon Group) pada 6 Desember 2025, pengunjungnya membeludak. ”Pecah,” katanya. Transaksinya melonjak tajam. Saya nggak tahu seberapa melonjak.

Bikin macet jalanan juga? Saya lupa bertanya. Lagi pula, saya juga sudah berstatus taubatan nasuha, sungguh-sungguh bertobat, untuk urusan belanja. Juga, bukan apa-apa lagi di Pemkot Surabaya. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: