Menjaga Kewarasan Publik: Mengawal Transisi 2029 dari Jebakan ”Ritual” Hukum
ILUSTRASI Menjaga Kewarasan Publik: Mengawal Transisi 2029 dari Jebakan ”Ritual” Hukum.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Secara struktur sosial, apa yang kita saksikan adalah kembalinya pola kekerabatan (kinship) sebagai basis distribusi kekuasaan, tetapi dibungkus dengan jubah demokrasi modern.
Antropologi kekerabatan mengajarkan bahwa dalam masyarakat tradisional, darah lebih kental daripada meritokrasi. Namun, demokrasi modern seharusnya memotong jalur darah itu dengan sistem merit.
Sayang, preseden hukum belakangan ini justru memberikan karpet merah bagi kembalinya feodalisme gaya baru. Putusan MK yang memuluskan jalan bagi figur-figur tertentu yang memiliki privilese kekerabatan adalah bukti nyata.
Menuju 2029, kita berpotensi melihat demokrasi yang secara prosedural berjalan –ada pemilu, ada partai, ada MK– tetapi secara substansi telah mati.
Masyarakat akan digiring ke dalam situasi yang saya sebut sebagai fatigue democracy alias kelelahan demokrasi. Publik menjadi apatis karena sadar bahwa suara mereka di bilik suara tidak sekuat ketukan palu di gedung pengadilan.
Ketika kepercayaan pada institusi runtuh (distrust), kohesi sosial yang mengikat kita sebagai bangsa akan merenggang. Itu adalah lahan subur bagi konflik horizontal yang bisa meledak kapan saja.
MENGONSOLIDASI KEKUATAN SIPIL: BENTENG TERAKHIR KEWARASAN
Di tengah gempuran rekayasa hukum oleh elite negara (state actors), harapan satu-satunya kini bertumpu pada kekuatan masyarakat sipil (civil society).
Kita tidak bisa lagi naif mengharapkan check and balances terjadi di antara lembaga negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) karena ketiganya kini cenderung satu suara dalam orkestra kekuasaan yang sama.
Peran masyarakat sipil –mulai organisasi keagamaan, akademisi, mahasiswa, NGO, hingga jurnalis –menjadi sangat vital menuju 2029. Kita harus bertransformasi menjadi kekuatan oposisi moral yang efektif. Tantangan terbesar kita saat ini adalah fragmentasi.
Elite politik sangat piawai memecah belah masyarakat sipil dengan isu-isu identitas atau kooptasi jabatan.
Maka, agenda utama kita ke depan adalah membangun narasi tanding (counter-hegemony). Kita harus membongkar mitos bahwa ”apa yang legal itu pasti benar”. Masyarakat sipil harus berani mengatakan bahwa sebuah putusan bisa saja sah secara hukum positif karena diketok oleh hakim, tetapi cacat secara moral dan etika publik.
Oleh karena itu, organisasi keagamaan, akademisi, mahasiswa, NGO, hingga jurnalis harus duduk satu meja, tidak untuk berpolitik praktis, tetapi untuk menyepakati standar etika bernegara yang tidak boleh dilanggar.
Fungsi masyarakat sipil sebagai ”anjing penjaga” demokrasi harus diaktifkan kembali dengan lebih galak. Kita harus mengawasi setiap draf revisi undang-undang pemilu yang mungkin akan diselundupkan menjelang 2029.
Kita harus menjadi alarm yang berisik ketika ada indikasi lembaga peradilan mulai disusupi kepentingan politik praktis. Tanpa masyarakat sipil yang kuat dan kritis, 2029 hanya akan menjadi panggung monolog bagi para oligark, bukan dialog demokrasi rakyat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: