Kasus Bocah SD Bunuh Ibu Kandung di Medan: Medsos Viral, Polisi Teguh

Kasus Bocah SD Bunuh Ibu Kandung di Medan: Medsos Viral, Polisi Teguh

ILUSTRASI Kasus Bocah SD Bunuh Ibu Kandung di Medan: Medsos Viral, Polisi Teguh.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Ada pula, seorang gadis berusia 15 tahun dari Bronx, wilayah kumuh New York, didakwa karena membunuh seorang bayi dalam kebakaran yang ia sebabkan di rumah orang tuanyi.

Berdasar statistik Biro Investigasi Federal menunjukkan, 9,88 dari 100.000 warga AS ditangkap karena pembunuhan pada 1982. 

Namun, angka pelaku remaja berusia 17 tahun ke bawah, di tahun yang sama, lebih dari dua kali lipat angka untuk semua kelompok usia: 22,6 per 100.000.

Prof Alan B. Zients, waktu itu asisten profesor klinis psikiatri di Fakultas Kedokteran, George Washington University, Prof Elyce H. Zenoff, guru besar hukum di universitas yang sama, menemukan dua kategori yang mencolok di antara remaja di bawah usia 16 tahun yang telah melakukan pembunuhan.

Satu kelompok terdiri atas ”pembunuh tanpa empati”. Pelaku anak-anak itu kurang memiliki kemampuan psikologis untuk menempatkan diri mereka di tempat orang lain (tanpa empati). Itu laporan para penulis dalam International Journal of Law and Psychiatry, AS. 

Setiap itu, pembunuh dalam kategori tersebut memiliki riwayat perilaku agresif, masalah membaca yang parah, dan ketidakmampuan untuk mengatasi stres. Masing-masing menghabiskan tahun pertama kehidupan mereka di lembaga sosial penampungan anak yang kekurangan staf. Atau, dengan ibu yang memberikan sedikit dukungan psikologis.

Salah seorang pembunuh tersebut, anak laki-laki berusia 15 tahun, didakwa dalam waktu satu tahun atas kematian seorang wanita lanjut usia dan seorang gadis berusia 6 tahun. 

Anak laki-laki itu kepada polisi: ”Saya tidak mengenal gadis itu, jadi mengapa saya harus memiliki perasaan tentang apa yang terjadi terhadapnyi?”

Terapi psikologi tidak akan mengubah para pembunuh yang tidak berperasaan seperti itu, kata Prof Zients.

Kategori kedua para peneliti adalah ”pembunuh akibat konflik identitas seksual”. 

Perilaku anak laki-laki jenis itu sering diejek karena sifat kewanitaannya dan membawa senjata karena kurang percaya diri secara fisik. 

Mereka berasal dari keluarga ibu yang dominan atas ayah, yang jika ayah ada, pasif. Pembunuhan mereka, meski dilakukan karena emosi, sering kali secara halus didorong oleh orang tua.

Contoh, dalam suatu kasus, Ronald, 13 tahun, telah dijatuhkan dalam permainan sepak bola di lapangan pasir oleh seorang anak laki-laki yang lebih tua. Selanjutnya, pelaku menggosok wajah Ronald ke lumpur. 

Dilanjut, ortu Ronald marah. Ortu menyuruh Ronald melakukan apa pun yang diperlukan untuk membela diri. 

Merasa malu, Ronald berlari ke toko kelontong ayahnya, mengambil pisau daging besar, berlari kembali ke anak yang merundungnya, dan menusuk penyiksanya di jantung. Anak yang semula perundung mati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: