Jejak Kata Menteri

Jejak Kata Menteri

ILUSTRASI Menteri bukan hanya pembantu presiden.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

APA YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN?

Agar masyarakat tidak mudah tertipu oleh permainan bahasa pejabat, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, setiap pernyataan pejabat harus disertai data yang jelas, seperti angka kerusakan hutan, nama penerima izin, dan persentase hutan yang hilang. 

Tanpa data seperti ini, apa pun yang mereka ucapkan hanya menjadi retorika kosong. Beberapa negara sudah memakai sistem yang disebut policy language audit, yaitu mekanisme untuk menilai apakah ucapan pejabat bersifat menyesatkan, mengaburkan fakta, atau bahkan manipulatif. Indonesia juga perlu menerapkan sistem seperti ini agar penggunaan bahasa dalam pemerintahan lebih jujur dan transparan. 

Media juga memegang peran penting. Mereka tidak boleh hanya menyalin ucapan pejabat begitu saja. Jurnalis harus kritis dan berani bertanya seperti Apa yang tidak disampaikan? Bagian mana yang justru mengalihkan isu? Siapa yang paling diuntungkan dari cara mereka berbicara?. 

Dengan pertanyaan seperti itu, wacana publik menjadi lebih sehat dan tidak mudah diarahkan. Di sisi lain, masyarakat perlu dibekali kemampuan membaca strategi bahasa kekuasaan. 

Dengan begitu, publik bisa membedakan mana informasi yang jujur dan mana yang hanya sekadar pencitraan. Yang perlu diingat, kerusakan ekologis tidak akan selesai hanya dengan kunjungan pejabat atau konferensi pers. 

Solusi yang dibutuhkan jauh lebih serius, seperti penghentian sementara penerbitan izin baru, penegakan hukum yang benar-benar menyentuh para pemilik modal, rehabilitasi hutan yang berbasis data, dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga independen. 

Tanpa langkah-langkah konkret ini, bahasa yang indah hanya akan menutupi kerusakan yang semakin membesar.

Musibah banjir sering menjadi panggung untuk ucapan indah para pejabat. Namun bahasa tidak boleh dibiarkan mengalahkan kenyataan. Hutan tidak tumbuh hanya karena pidato. Sungai tidak surut hanya karena konferensi pers. Dan rakyat tidak pulih hanya karena menteri berdiri di depan kamera. 

Kita harus belajar membaca bahasa seperti membaca peta dengan melihat arah, memahami niat, dan membedakan mana jalan yang benar dan mana yang menyesatkan. Karena akhirnya, bencana tidak hanya datang dari hujan yang turun dari langit, tetapi juga dari kata-kata yang menutupi kebenaran. 

Dan, bagi setiap pejabat, ingatlah satu hal yaitu kekuasaan boleh memengaruhi kebijakan, tetapi kebenaran selalu memengaruhi sejarah. (*)

*) Hadi Asrori, mahasiswa S-2 ilmu linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.

*) Noerhayati Ika Putri, ketua Komisi Etik Penelitian & Kaprodi S-2 Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: