Rumah yang Tak Pernah Pindah

Rumah yang Tak Pernah Pindah

Makna Logo dan Tema Hari Ibu 22 Desember Resmi dari KemenPPPA.--kemenpppa.go.id

ADA banyak tanggal penting dalam kalender, tetapi hanya satu hari yang membuat kita diam sejenak dan merasa kecil yaitu  Hari Ibu. Bukan karena kita tak punya kata, justru karena terlalu banyak yang ingin kita ucapkan. 

Sosok ibu bukan sekadar figur biologis; dia adalah sistem nilai, fondasi moral, sekaligus mesin emosional yang menggerakkan hidup anak-anaknya.

MENGAPA SOSOK IBU BEGITU MENENTUKAN? 

Mayoritas karakter manusia sekitar 72 persen pembentukan nilai dasar, menurut banyak penelitian psikologi perkembangan berasal dari interaksi awal dengan ibu. Di tangan ibu, seseorang belajar empati, bahasa, kontrol emosi, dan cara memandang dunia. Kita belajar bahwa dunia itu lembut, atau keras, atau campuran keduanya. 

Ibu bukan sekadar pengasuh. Dia adalah model pertama tentang bagaimana mencintai dan bagaimana bertahan. Bahkan ketika tak mengucapkan apa-apa, gaya hidup seorang ibu adalah kurikulum yang paling sering kita tiru. 

Sisanya adalah soal bagaimana ibu menjadi benteng dalam sunyi. Sekitar delapan belas persen pengaruh ibu, kata Daniel Goleman, datang dari penularan emosi ketabahan, cara menghadapi kegagalan, atau kemampuan bangkit setelah jatuh. 

Ibu adalah saksi tanpa sorak-sorak, tetapi diam-diam mendorong anaknya agar tetap berdiri. Ibu tahu bahwa hidup bukan lomba cepat, melainkan maraton panjang. Dan di balik setiap keputusan besar, cara berpikir ibu sering ikut membentuk arah langkah kita. 

Sisa kecil dari pengaruh ibu sekitar sepuluh persen terakhir adalah warisan makna yairu doa di subuh, pesan lirih di tengah perjalanan, atau kalimat pendek seperti, “Jaga dirimu.” Hal-hal itu tampak kecil, tetapi justru menjadi jangkar hidup kita. 

Tidak ada universitas yang mengajarkan kehangatan panggilan “Nak.” Tidak ada ijazah setara tatapan lega ketika seorang ibu tahu anaknya tidak apa-apa.

Erich Fromm pernah mengatakan, “Cinta ibu adalah satu-satunya cinta yang tidak menuntut syarat.” Itulah alasan mengapa manusia pertama kali belajar percaya pada dunia melalui ibunya. 

Kahlil Gibran menulis, “Ibu adalah segala sesuatu. Dialah hiburan di saat sedih, harapan di saat duka, serta kekuatan di saat lemah.” Kita bisa gagal seribu kali, tetapi ada satu orang yang tetap melihat potensi dalam diri kita. 

R.A. Kartini pernah menyebut perempuan dan ibu sebagai pendidik pertama bangsa. Dan di situlah akar harapan bagi masa depan bangsa yang baik lahir dari ibu yang dihormati, dihargai, dan dimanusiakan.

Mengapa kita sering lalai? Sebab, ibu terlalu dekat. Terlalu sederhana. Terlalu sering hadir. Seperti oksigen kita baru merasa sesak ketika ia tak ada. Kita sering lupa bahwa ibu punya batas tenaga, batas waktu, dan batas usia. 

Banyak anak pulang ketika terlambat. Banyak yang ingin menebus rindu setelah tak ada tempat untuk kembali. Dan penyesalan selalu datang dalam bahasa yang paling tajam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: