Indonesia dan Jalan Perdamaian Kamboja-Thailand
ILUSTRASI Indonesia dan Jalan Perdamaian Kamboja-Thailand.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Di tengah eskalasi konflik Kamboja-Thailand yang berpotensi mengganggu stabilitas Asia Tenggara, arah prioritas diplomasi Indonesia justru menimbulkan tanda tanya.
Dalam beberapa bulan terakhir, Jakarta terlihat lebih aktif mengembangkan manuver diplomatik ke luar kawasan, seperti pendekatan strategis ke Pakistan dan pendalaman kerja sama dengan Rusia.
Sementara itu, krisis yang paling dekat –dan paling relevan secara langsung– berlangsung di lingkungan ASEAN sendiri. Pilihan itu bukan sekadar soal orientasi diplomasi, melainkan mencerminkan persoalan hierarki kepentingan dalam politik luar negeri Indonesia.
Kritik tersebut makin relevan ketika Indonesia sendiri tengah menghadapi tekanan domestik yang berat, terutama bencana banjir besar di Sumatera yang menuntut konsolidasi sumber daya dan fokus kepemimpinan nasional.
Dalam kondisi keterbatasan ruang dan energi politik, diplomasi seharusnya bersifat selektif dan berorientasi pada kebutuhan strategis paling mendesak. Stabilitas kawasan terdekat semestinya menjadi prioritas.
Mengingat, eskalasi konflik regional berpotensi berdampak langsung pada Indonesia, mulai gangguan ekonomi kawasan, arus pengungsi, hingga erosi kredibilitas ASEAN sebagai lingkungan strategis utama Jakarta.
Konflik Kamboja-Thailand sendiri bukan sekadar persoalan bilateral dua negara tetangga, melainkan juga krisis kawasan yang menguji fondasi ASEAN.
Ketika baku tembak, ranjau darat, teror suara, hingga penggunaan drone terjadi berulang kali, absennya peran aktif Indonesia sebagai peace broker justru memperkuat kesan melemahnya kepemimpinan kawasan.
Padahal, preseden historis menunjukkan Indonesia mampu memainkan peran tersebut. Dalam konflik Thailand-Kamboja tahun 2011, Jakarta tampil sebagai mediator yang kredibel melalui mekanisme ASEAN, memanfaatkan diplomasi senyap dan posisi normatif sebagai aktor yang relatif diterima semua pihak.
Keterlibatan Indonesia dalam isu-isu global tentu bukan hal yang keliru. Namun, diplomasi yang efektif selalu berpijak pada prinsip region first. Tanpa stabilitas Asia Tenggara, ambisi Indonesia sebagai middle power global akan kehilangan fondasi.
Terlalu dini melompat ke isu geopolitik besar justru berisiko menciptakan overstretch, ketika negara belum sepenuhnya mampu mengamankan lingkungan strategis terdekatnya.
Selain itu, menjadi sebuah kecenderungan externalization of conflict management ketika aktor luar kawasan seperti AS, Tiongkok, atau Uni Eropa mulai mengisi kekosongan peran ASEAN, yang dipertaruhkan adalah stabilitas regional dan otonomi strategisnya sendiri.
Jika Indonesia adalah big brother ASEAN, tindakan konkret harus dilakukan dengan menghidupkan kembali mekanisme ASEAN, memfasilitasi dialog Phnom Penh-Bangkok, dan mengedepankan pendekatan human security untuk melindungi warga sipil agar diplomasi Indonesia tidak hanya aktif di panggung global, tetapi pasif di halaman belakangnya sendiri.
MENAWARKAN JALAN DAMAI DARI JAKARTA
Indonesia tidak kekurangan modal untuk kembali memainkan peran sebagai peace broker di Asia Tenggara. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk menata ulang prioritas dan menawarkan solusi konkret melalui ASEAN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: