TikTok, Bikin Terhibur atau Terpengaruh?
ILUSTRASI Tiktok, Bikin Terhibur atau Terpengaruh?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
TikTok sering kali memengaruhi cara kita dalam memandang diri. Remaja sering kali merasa insecure ketika melihat influencer yang hidupnya mewah maupun good looking.
Padahal, tidak semua yang ada di TikTok bisa dijadikan perbandingan. Mengingat, standar kecantikan yang muncul di TikTok sering kali tidak realistis dan tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai diri.
Di sisi positif, TikTok juga menawarkan pengalaman yang memberdayakan. Banyak konten yang mendorong self-love, mengajarkan kita untuk lebih menerima diri sendiri, atau memberikan edukasi kepada masyarakat tentang kesehatan mental yang sering kali jarang dibahas di media sosial.
Selain itu, kreator konten di TikTok bisa sangat suportif, membuat penonton merasa tidak sendirian dan menemukan teman-teman yang memiliki pengalaman serupa.
Namun, efek negatifnya juga nyata. Secara tidak sadar, kita membandingkan diri dengan influencer atau kreator yang hidupnya terlihat ”sempurna”. Perasaan tidak cukup bisa muncul, terutama ketika video-video viral menampilkan standar kecantikan, kesuksesan, atau gaya hidup tertentu.
Secara pribadi, saya menyadari bahwa TikTok seakan membentuk mikro-identitas baru: apa yang kita tonton perlahan memengaruhi apa yang kita anggap menarik atau pantas diperhatikan, bahkan tanpa disadari.
Saya pernah mengalami ”TikTok made me buy it” ketika tanpa rencana membeli barang yang sebenarnya tidak kita perlukan, hanya karena terlihat menarik di video pendek yang tersusun rapi.
Bukan hanya soal belanja, mencoba rutinitas produktivitas baru, memilih hobi, hingga mencari metode belajar pun sering dari rekomendasi TikTok.
Semuanya terasa seolah pilihan pribadi, padahal sering kali muncul karena paparan berulang dari konten viral yang memengaruhi persepsi kebutuhan.
Dari situ saya mulai bertanya: apakah keputusan itu benar muncul dari keinginan diri sendiri atau hanya hasil dorongan halus dari algoritma yang terus menampilkan apa yang ”katanya” cocok untuk saya?
Pertanyaan tersebut membuat saya lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan sehari-hari.
Sering kali, kita hanya merasa ”menikmati” hiburan, padahal batas antara menikmati dan kecanduan begitu tipis. Saya mulai sadar bahwa apa yang tampak sebagai hiburan bisa berubah menjadi pengaruh halus yang membentuk cara berpikir dan merespons dunia.
Kontrol diri pun kadang longgar karena algoritma terlalu pandai menyesuaikan konten dengan kelemahan kita. Pada titik itu, sulit membedakan apakah kita masih memilih tontonan atau justru pilihan itu sudah ditentukan oleh pola yang dibaca mesin.
Bagi saya, TikTok memang menghibur, tetapi pengaruhnya terhadap cara kita melihat diri dan orang lain jelas tidak bisa diabaikan. Tidak ada yang salah dengan menikmati platform itu, selama kita tetap sadar akan dampak dan pola konsumsi kita.
Sebab, pada akhirnya, pertanyaan pentingnya: apakah kita membuka TikTok untuk sekadar terhibur atau tanpa sadar sedang dibentuk oleh konten yang terus kita serap? Sebuah refleksi yang layak kita jawab dengan jujur. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: