Oleh: Tika Widiastuti * Ramadan menjadi momentum umat Islam untuk melakukan ibadah. Tak terkecuali ibadah zakat. Karena itu, biasanya perolehan zakat oleh BAZ dan LAZ di bulan Ramadan meningkat luar biasa jika dibandingkan dengan di bulan-bulan lain. Bukan hanya karena ada zakat fitrah yang dikeluarkan setiap muslim, tapi juga zakat harta (maal) yang merupakan rukun Islam ketiga. Zakat maal merupakan instrumen keuangan penting dalam Islam. Ob j ek zakat maal ada dua . Y aitu , pendapatan dan simpanan atau investasi. Setiap muslim yang punya pendapatan dan telah mencapai nisab harus membayar zakat rata-rata 2,5 persen . Begitu juga simpanan yang mencapai nisab dan telah setahun harus membayar zakat 2,5 persen . Nisbah atau batas minimal pengenaan zakat untuk pendapatan maupun simpanan secara umum adalah 85 gram emas atau sekitar Rp 85 juta.
Dengan ketentuan seperti itu, potensi zakat di Indonesia sangat besar. Baznas, misalnya, memprediksi potensi zakat mencapai 3,4 persen dari PDB sehingga mencapai Rp 217 triliun pada tahun 2012. Dengan PDB 20 21 yang mencapai Rp 16.970 triliun (BPS, 20 22 ), potensi zakat setahun mencapai Rp 5 76 triliun. LPEI Unair memprediksi potensi zakat adalah 0,87 persen PDB atau Rp 147,6 triliun (2021).
Dari potensi sebesar itu, zakat ditambah infak dan sedekah yang dikumpulkan lembaga amil zakat (LAZ) dan badan amil zakat (BAZ) hanya Rp 14 triliun ( 2021 ) . Jadi, jauh sekali dari potensinya. Jika diasumsikan dana terkumpul itu hanya separ uh dari yang dibayarkan kaum muslimin, ZIS total setahun hanya Rp 28 triliun.
Banyak faktor mengapa perolehan zakat oleh BAZ dan LAZ masih jauh jika dibanding kan dengan potensinya. Pertama, sifat pembayaran zakat adalah sukarela (voluntary). Artinya, tidak ada aturan yang bersifat memaksa bagi setiap muslim yang menjadi sub j ek zakat untuk membayar zakat.
Hanya di 6 di antara 47 negara mayoritas muslim, sifat zakat adalah obligatory, diatur dan dikutip oleh negara. Yaitu , Libya, Arab Saudi, Sudan, Yaman, Pakistan, dan Malaysia. Indonesia mengikuti beberapa negara seperti Jordania, Bahrain, dan Kuwait di mana zakat diatur negara , tapi dikutip secara sukarela.
Selain itu, rendahnya pembayaran zakat dipengaruhi rendahnya literasi zakat. I tu terkait ob j ek zakat, sub j ek, serta cara menghitung dan membayarnya. Juga , terkait dengan profesionalitas lembaga amil zakat, yakni LAZ dan BAZ.
Pada objek zakat berupa pendapatan, ulama sudah mengenalkan zakat profesi, yakni pendapatan apa saja yang baik adalah objek zakat (Q.S. 2:267) seperti pendapatan sebagai pengacara, dokter, polisi, PNS, atau profesi yang lain. Sementara itu, objek zakat simpanan mengandung pengertian bahwa simpanan apa saja, baik berupa surat berharga, saham, obligasi, deposito, atau simpanan barang bernilai lainnya juga merupakan objek zakat. Semuanya disamakan dengan simpanan emas yang merupakan objek zakat.
Sementara itu, d ari sisi lembaga zakat, meningkatkan profesionalisme menjadi suatu keharusan. Saat ini, kinerja BAZ/LAZ sudah cukup baik. Namun, membuat ukuran kinerja mereka adalah sangat penting agar kepercayaan muzaki terhadap lembaga zakat terus meningkat. Di sinilah, Baznas sebagai regulator zakat harus segera menyusun ukuraan kinerja yang baik, layaknya pengukuran kinerja lembaga keuangan seperti bank.
Zakat sebagai Pengurang Pajak Langsung
Selain fa k tor di atas, hal yang lebih penting adalah perlunya insentif menarik bagi muzaki untuk membayar zakat. Berkaca pada Malaysia, perlakuan zakat sebagai pengurang pajak langsung (tax deductible) bisa menjadi insentif menarik bagi muzaki. Dengan zakat menjadi pengurang pajak langsung, muzaki akan memperoleh keuntungan menurunnya kewajiban pajak secara signifikan.
Di Indonesia, insentif yang diberikan pemerintah sangat kecil. Yaitu , diakuinya zakat sebagai pengeluaran yang akan mengurangi pendapatan bersih (deductible taxable income) sehingga pajaknya juga berkurang. Zakat menjadi pengurang pajak tidak langsung. Dengan penghitungan seperti itu , pengurangan terhadap pajak sangat kecil.
Sebagai gambaran, seorang muzaki memiliki penghasilan sebelum pajak Rp 400 juta dan zakat yang dibayar Rp 10 juta (2,5 persen ). Dengan perlakuan zakat sebagai pengurang pajak tidak langsung, penghasilan kena pajak adalah Rp 390 juta (penghasilan dikurangi zakat). Jika tarif pajak 25 persen , pajak yang harus dibayar adalah Rp 97,5 juta.
Dengan zakat sebagai pengurang pajak langsung (Malaysia), penghasilan kena pajak adalah Rp 400 juta dan pajaknya Rp 100 juta (25 persen ). Dengan zakat yang sudah dibayar Rp 10 juta, pajak yang harus dibayar adalah Rp 90 juta (Rp 100 juta dikurangi zakat). Ada selisih cukup signifikan jumlah pajak yang harus dibayar, yaitu Rp 97,5 juta.
Bagi muzaki, perlakuan zakat sebagai pengurang pajak langsung itu menjadi insentif menarik. Sebab, di satu sisi , muzaki telah menjalankan kewajiban agama . D i sisi lain , itu bisa mengurangi kewajiban pajak. I tu dibuktikan dengan fakta bahwa pemberlakuan kebijakan itu justru bisa menaikkan perolehan zakat sekaligus perolehan pajak.