Bila masih penasaran, silakan di-searching di ”Mbah google”, adakah 1 jejak digital saja, Gus Muhaimin melawan pernyataan atau bahkan menjelek-jelekkan Gus Dur? Dinamika Gus Dur dan Gus Muhaimin itu terjadi di 2009, dan hari ini adalah 13 tahun berselang. Mengapa setiap Gus Muhaimin akan ”naik kelas”, isu 2009 selalu digulirkan?
Akan tetapi, inilah realita konstruksi politik di negara kita yang harus kita sikapi dengan baik. Betapapun mungkin kita terluka dengan berbagai narasi kebencian yang berkembang itu, jangan sekali-kali melawan narasi kebencian tersebut dengan kebencian yang sama.
Sikap yang ditunjukkan Gus Muhaimin setidaknya bisa dijadikan sebagai inspirasi. Tatkala idenya tentang penundaan pemilu dihabisi di mana-mana, dengan logika-logika sesat buzzer, ia justru tetap riang gembira menyikapi bahkan terkadang dengan cara-cara humor yang cerdas.
"Katanya negara demokrasi, usul kok tidak boleh", celetuknya dalam sebuah acara PMII di Jakarta. Meskipun pernah menyatakan secara terbuka bahwa setiap langkah politiknya menuai serangan dan teror, dengan santai pemegang rekor pimpinan DPR RI termuda tersebut bilang : ”Saya tidak akan pernah takut dengan teror politik, karena di belakang saya ada ibu-ibu, ” ujarnya dalam sebuah acara di Malang. Yang terbaru, postingan paginya di Twitter malah menyebut bahwa: ”Bukan badai, hanya angin sepoi-sepoi dari haters,” tulisnya santai (16/05).
Sampai di sini, bisa jadi benar bahwa aksi buzzer dan haters itu dilatarbelakangi tren elektabilitas Gus Muhaimin yang mulai merangkak naik. Tentu saja hal ini berbahaya. Mengapa demikian? Sebab berkaca pada kandidat capres 2024 lain, Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo, misalnya, saat tren elektoral mereka membaik, maka mereka diserang dengan narasi-narasi negatif yang sama sekali tidak terkait fakta kinerjanya sebagai pejabat publik.
Politik di Era Anti-Politik
Artinya ini menjadi preseden buruk bagi pematangan demokratisasi kita. Mengutip Geoff Mulgan (1995), kita seperti berpolitik di era anti-politik. Sebab, pada hakikatnya proses politik selalu berawal dari wacana/diskursus (Goenawan Mohamad, 2008). Maka merayakan era politik seharusnya adalah merayakan perang wacana (diskursus), bukan perang kebencian. Hanya dengan begitu, kata Hannah Arendt (2002), kita bisa meresapi politik sebagai ”seni mengabadikan diri.”
Generasi milenial dan generasi-Z sedini mungkin harus diedukasi dengan wacana bahwa politik harus dilakukan dengan riang gembira. Bukan dengan caci maki dan ujaran kebencian. Para stakeholders terkait, terutama Kominfo harus inovatif dan kreatif untuk memformulasikan kebijakan dalam meningkatkan indeks literasi digital di Indonesia. Karena mau tidak mau, disrupsi teknologi dewasa ini mengubah lanskap politik kita berdimensi digital.
Kalau demokrasi kita masih berkubang dalam praktik-praktik kontra diskursif, niscaya kita akan mengalami gelombang balik demokrasi. (*)
*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Prodi Media dan Komunikasi Universitas Airlangga