Jejak Jokowi dalam Sastra dan Rupa

Ekspresi rupa mirip Jokowi juga muncul pada pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional Jakarta pada pertengahan Desember 2024 dengan tema Kebangkitan: Tanah untuk Kebangkitan Pangan. -Istimewa-
”Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah” dan “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang” adalah peribahasa yang biasanya dilekatkan pada pemimpin/penguasa terkait perilaku saat mengendalikan kekuasaan.
Citra itu, terutama setelah tidak menjabat, akan terekspresikan ke ruang publik melalui berbagai cara. Citra dapat muncul karena berbagai kepentingan yang mungkin dapat berubah-ubah sesuai kondisi sosial dan politik. Pada situasi kontemporer saat ini, hampir tiap hari kita menyaksikan adanya citra pemimpin di media sosial.
Sastra dan seni rupa juga dapat mencitrakan keberadaan seorang pemimpin. Meski karya Sastra dan seni rupa berada dalam bingkai imajinasi, dalam konteks sosiologis, sejak teori mimetik hingga representasi, adanya hubungan antara karya Sastra dan seni rupa dengan kehidupan nyata tak dapat ditampik.
Cabang-cabang seni lainnya juga punya keterikatan yang sama. Antara hubungan pemodelan (mendahului kenyataan) dan representasi (mengikuti kenyataan) menjadi bincangan yang tak pernah usang. Isu-isu kontempor, terutama terkait dengan kondisi sosial politik, menjadi bahan yang selalu menarik untuk diolah menjadi karya seni karena terkait langsung dengan kehidupan warga negara.
BACA JUGA: Perpisahan Sang Konsul: Dari Jember ke San Francisco, Jejak Diplomasi Pak Pras Bersama Diaspora
Jawa Pos (Sabtu, 3 Agustus 2024) memuat empat buah puisi karya Sosiawan Leak yang terkait isu-isu sosial politik kontemporer: Penguasa Mitos, Tugas Negara, Nota Belanja Koruptor, dan Solo. Yang menarik lagi, pemuatan tersebut disertai ilustrasi rupa mirip Joko Widodo dengan latar belakang kursi, gedung DPR-MPR, bendera merah putih yang tampak kusut, serta Monas.
Ilustrasi adalah seni rupa. Sementara puisi adalah sastra. Antara puisi dan ilustrasi, yang lahir dari tangan berbeda, terjadi simbiosis yang saling menjelaskan. Tak ada yang diragukan, puisi-puisi kritis tersebut mendeskripsikan sepak terjang Jokowi, baik sebagai pribadi maupun sebagai rezim. Konkretisasi puisi, meski ada potensi menggiring ke satu interpretasi, ilustrasi menguatkan puisi sebagai alat ekspresi dan komunikasi massa.
Kepemimpinan Jokowi memang berakhir sangat buruk. Nafsu kuasanya merusak pilar-pilar demokrasi dan kehidupan bernegara. Merasa didukung oleh mayoritas partai dan parlemen, suara massa dan kritik dari para akademisi tidak diguris. Demo para mahasiswa tak diindahkan. Puluhan kampus yang menyuarakan adanya pelanggaran etika dianggap angin lalu.
BACA JUGA: Tagar KaburAjaDulu: Strategi Resistensi Terhadap Kekuasaan dalam Perspektif Michel Foucault
Penyair dan wartawan senior Goenawan Mohammad sampai menangis saat audiensi di Mahkmah Konstitusi. "Siapa yang bisa kita percaya. KPK tidak bisa dipercaya lagi. MK tidak bisa dipercaya lagi. Presiden yang kita sayangi tidak bisa dipercaya lagi. Lalu siapa? Itu krisis yang serius," katanya.
Jawa Pos edisi 2 November 2024, Sosiawan Leak kembali menampilkan ilustrasi menarik terkait jejak Jokowi melalui puisi Negeri Fufufafa, Upacara Brutal, dan Sumpah Kaladete. Kali ini yang tampak jelas adalah rupa mirip Gibran Rakabuming Raka sebagai wapres, putra Jokowi, memakai kopiah yang hendak dibelah dengan belati, di depannya ada lelaki berdasi dengan wajah seperti Togog, sebelah kirinya ada raksasa naik kuda, sedang di sebelah kanan ada tiga lelaki berpesta tuak.
Fufufafa adalah nama akun pengguna Kaskus yang menurut Roy Suryo memiliki keterkaitan dengan Gibran, unggahannya banyak menghina orang lain sehingga dalam puisi Leak disebut sebagai “bergajul mesum”.
BACA JUGA: Brand Baru Surabaya: Apa Selanjutnya?
Puisi-puisi Leak sangat jelas maknanya, kritik yang pedas terhadap pemerintahan Jokowi yang kemudian dialihkan ke Prabowo Subianto. Kaum bangsawan, para cendekia, dan agamawan “sakau dibuai kehormatan”. Penyair menyimpulkan “segala bisa di negeri fufufafa/negeri di mana tipu daya sudah biasa.’
Jawa Pos, 19 Oktober 2024, memuat cerpen Kiai Sili (Sebuah Otobiografi) karya Ida Fitri. Ilustrasinya juga berwujud rupa mirip Jokowi mengenakan penutup kepala (mahkota dua kubah berujung datar) dan seekor sapi. Seperti subjudulnya, cerpen ini mengarah pada kehidupan Jokowi dengan tokoh utama Mulyono (konon nama kecil Jokowi).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: