Harian Disway - KALAU ada penobatan ”newsmaker of the year” tahun ini, salah satu tokoh yang berpotensi menang adalah KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman. Dalam setahun terakhir ini namanya sering muncul di media. Berbagai komentar dan tindakannya sering memantik komentar pro maupun kontra.
Dudung dengan cepat menjadi media darling sejak menjadi Pangdam Jaya sampai kemudian kariernya melesat bak meteor menjadi orang nomor satu di TNI Angkatan Darat (AD). Jarang sekali muncul media darling dari kalangan tentara. Sebab, selama ini tentara selalu bersikap disiplin dalam berbicara dan bertindak. Tapi, Dudung beda. Ia adalah tipe tentara vokalis yang sering menjadi viral karena komentar-komentar yang kontroversial.
Publik pernah mengenal Fahri Hamzah dan Fadli Zon sebagai politikus vokal yang menjadi langganan media. Dua politikus itu bertahun-tahun dikenal sebagi ”duet ganda putra” dari Senayan. Pasalnya, mereka selalu kompak dalam memberikan komentar-komentar tajam mengenai berbagai isu.
Duet politikus PKS (dulu) dan Gerindra itu dikenal sebagai kritikus Jokowi dan menjadi media darling yang komentarnya selalu dicari para jurnalis. Namun, sejak Fahri keluar dari PKS (kini di Partai Gelora) dan pensiun dari parlemen pada 2019, Fadli Zon kehilangan pasangan ganda dan tidak bisa menemukan lagi pasangan yang ideal.
Akhirnya Fadli Zon bermain solo sebagai ”tunggal putra” Senayan. Meski kehilangan pasangan, Fadli tetap menjadi suara Senayan yang paling vokal dan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Meski, Partai Gerindra resmi menjadi bagian dari koalisi pemerintah setelah Pilpres 2019.
Fadli menjadi media darling untuk beberapa lama. Komentar-komentarnya selalu tajam terhadap kekuasaan. Ia menyindir Jokowi yang lebih memilih menjajal Sirkuit Mandalika daripada mengunjungi korban banjir di Sintang. Fadli juga mengkritik penggundulan hutan dengan cuitannya ”deforestasi itu nyata”.
Gerindra akhirnya menegur Fadli secara terbuka dan memerintahkannya untuk tutup mulut. Fadli pun tutup mulut. Setidaknya dalam dua minggu terakhir ini Fadli menghilang dari dari jagat maya, yang selama ini menjadi wahananya untuk berekspresi.
Setelah menghilang dua minggu, Fadli muncul dengan mengunggah foto bareng Puan Maharani dalam sebuah acara parlemen di Madrid. Selesai sudah. Fadli diam. Media pun kehilangan salah satu darling yang selalu siap memberikan pasokan berita.
Jenderal Dudung Abdurrachman bukan politikus. Tapi, ia tahu persis bagaimana bermain seperti politikus. Beberapa komentarnya lebih mirip sebagai komentar politikus ketimbang komentar jenderal AD.
Terbaru, Dudung berkomentar mengenai kebiasaannya berdoa dengan memakai bahasa Indonesia setelah salat. Dalam dialog podcast dengan youtuber Deddy Corbuzier (1/12), Dudung mengatakan, ”Kalau saya berdoa setelah salat, doa saya simpel, ya Tuhan, pakai bahasa Indonesia saja, karena Tuhan kita bukan orang Arab.”
Pernyataan Dudung itu kontan mendapat reaksi keras dari banyak kalangan. Bahkan, ada yang menganggap Dudung melakukan pelecehan agama karena menyebut ”Tuhan bukan orang Arab”. KH Wafi Maimun Zubair menganggap pernyataan Dudung menimbulkan kegaduhan karena tidak sesuai dengan tupoksinya sebagai pimpinan AD.
Kasus semacam itu pernah menimbulkan kontroversi ramai pada 2005. Seorang mantan petinju bernama Yusman Roy mendirikan Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku di Malang. Salah satu ajaran yang diamalkan adalah melakukan salat dengan memakai bahasa Indonesia.
Ajaran Yusman Roy itu mendapatkan reaksi keras dari para ulama, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Malang. Yusman dilaporkan ke polisi, kemudian dibawa ke pengadilan. Hakim memutuskan Yusman terbukti melakukan pelecehan agama. Ia dijatuhi vonis dua tahun penjara.
Almarhum Gus Dur pernah menyampaikan pendapat yang dianggap nyeleneh ketika mengusulkan mengganti ”assalamualaikum” dengan ”selamat pagi”. Menurut Gus Dur, dua ungkapan salam itu mempunyai esensi yang sama, dan kerena itu ”selamat pagi” bisa dijadikan pengganti ”assalamualaikum”.
Pernyataan itu menjadi kontroversi nasional. Bahkan, kalangan NU sendiri tidak sepenuhnya bisa menerima pemikiran Gus Dur itu. Pada Muktamar NU di Pensatren Krapyak, Yogyakarta, 1989, Gus Dur ”diadili” dan diminta mempertanggungjawabkan pendapatnya.