Mengapa masyarakat tidak memercayakan perkara hukum kepada lembaga penegak hukum? Sehingga massa intervensi? Adakah krisis kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum?
Jika kondisi itu dibiarkan, bisa jadi buruk: Street justice. Itu bukan judul film serial drama kriminal Amerika Serikat yang dibintangi Carl Weathers dan Bryan Genesse, 1991. Bukan itu. Melainkan, peradilan jalanan. Polisi bertindak menegakkan kebenaran dengan cara kekerasan.
Garry W. Sykes dalam karya ilmiahnya, Street Justice: A Moral Defense of Order Maintenance Policing (1995), menyatakan:
Peradilan jalanan adalah peran polisi dalam menegakkan keadilan dengan cara jalanan. Dimaknai sebagai perilaku polisi yang responsif terhadap faktor situasional dan organisasional yang muncul dari sifat peran polisi itu sendiri. Intinya, polisi menegakkan keadilan tanpa SOP semestinya.
Itu sebagai reaksi dari perilaku masyarakat yang mengintervensi lembaga penegak hukum.
Di Amerika Serikat, peradilan jalanan menimbulkan keprihatinan masyarakat. Terutama ketika polisi menunjukkan prasangka etnis atau ras. Sehingga keadilan menjadi bias.
Tapi, di Indonesia tidak akan sejauh itu. Masalahnya lebih sederhana. Tidak sampai menimbulkan street justice. Terlalu jauh.
Dikutip dari makalah ilmiah Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Desember 2016, dosen hukum Vidya Prahassacitta mengungkapkan, fenomena intervensi publik terhadap peradilan pidana dimulai di kasus Ahok (mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama).
Publik –baik masyarakat yang turun ke jalan, media massa, maupun media sosial– mendorong lembaga peradilan agar menjadikan Ahok sebagai tersangka. Dalam kondisi tekanan massa begitu besar, polisi akhirnya menjadikan Ahok tersangka.
Ketika Ahok diadili, ribuan orang menunggu di depan pengadilan. Jadi, tekanan massa mendorong penegak hukum menghukum seseorang.
Terlepas, apakah Ahok secara hukum bersalah atau tidak, intervensi massa yang begitu kuat terhadap lembaga peradilan adalah sesuatu yang semestinya ilegal. Sebab, jika itu ditiru masyarakat dalam kasus-kasus lain, rusaklah lembaga hukum.
Vidya juga mengambil contoh kasus terbunuhnya Mirna oleh racun kopi sianida. Dengan terdakwa (kini terpidana) Jessica Kumala Wongso. Pemberitaan media massa begitu masif. Sebagai intervensi publik terhadap lembaga peradilan. Terlepas dari, apakah benar Jessica pembunuh Mirna.
Menurut Vidya, intervensi publik terhadap penegak hukum yang terjadi sekarang bisa direhabilitasi melalui tiga cara ini.
Pertama, perbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia. Terutama, jangan ada korupsi di lembaga peradilan. Sebab, intervensi publik menandakan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Kedua, edukasi pengetahuan dan kesadaran masyarakat menghormati proses hukum. Di situ peran pers sangat penting.
Ketiga, keberanian dan ketegasan dari lembaga pengawas internal dan eksternal untuk menindak pelanggaran yang dilakukan aparat penegak hukum.