SADUMUK bathuk sanyari bumi ditohpati. Bagi orang Jawa, tanah atau bumi bukan sekadar aset yang bernilai ekonomi. Lebih dari itu, tanah mempunyai nilai historis dan kultural. Tanah adalah pusaka atau legasi, warisan keluarga. Tanah adalah kehormatan, dan karena itu ketika kehormatan diusik, segala daya akan dikerahkan dengan segala daya, termasuk bertaruh nyawa.
Ungkapan Jawa itu secara harfiah berarti ”selebar jidat, selebar jari, tanah akan dibela sampai mati”. Meskipun tanah hanya sejengkal, selebar jari, tapi tanah bukan sekadar kekayaan karena sudah menyangkut bathuk, jidat, yang berarti kehormatan.
Bagi orang Jawa, bathuk atau jidat, sebagai bagian dari kepala, adalah bagian yang sakral dan terhormat. Orang lain bahkan tidak boleh memegang kepala, saking sakralnya. Kepala adalah bagian tubuh yang keluar terlebih dahulu ketika bayi dilahirkan. Itulah alasan bagi orang Jawa mengapa kepala begitu sakral tak tersentuh.
Perlawanan warga Desa Wadas, Purworejo, terhadap upaya perampasan tanahnya untuk dijadikan ladang tambang adalah bagian dari konflik panjang yang melibatkan rakyat dengan kekuasaan. Konflik semacam itu selalu terjadi antara penguasa yang obsesif terhadap pembangunan dan rakyat yang merasa bahwa pembangunan justru merugikan mereka.
Warga desa yang sudah menghuni tanahnya turun-temurun berpuluh-puluh tahun tiba-tiba dicerabut secara paksa, dan dipaksa meninggalkan tanah komunal yang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari hidupnya. Warga Wadas tidak hanya sekadar kehilangan mata pencaharian hidup, tapi sekaligus tercerabut dari sejarah dan akar kultural yang sudah mereka tanam lintas generasi.
Pembangunan untuk siapa? Itulah pertanyaannya. Pemerintahan Jokowi punya ambisi besar untuk melakukan pembangunan fisik apa saja. Saking berambisinya, sampai-sampai menjadi obsesif. Jalan tol, bandara, pelabuhan, waduk, dan berbagai pembangunan infrastruktur menjadi obsesi besar bagi Jokowi.
Pembangunanisme atau developmentalisme menjadi ideologi utama Jokowi. Demi membangun infrastruktur, apa pun bisa dikorbankan. Infrastruktur adalah segala-galanya, dimensi manusia dalam pembangunan menjadi nomor dua.
Prof Soedjatmoko sejak 1970-an sudah mengingatkan pentingnya dimensi manusia dalam pembangunan. Ia mengingatkan bahwa pembangunan harus ”memanusiakan manusia”, bukan malah menghilangkan kemanusiaan demi kepentingan pembangunan.
Kasus-kasus tanah yang berujung konflik menunjukkan bahwa dimensi manusia itu diabaikan, setidaknya tidak diberi perhatian yang cukup serius. Konflik-konflik komunal itu kemudian kerap menjadi pemicu munculnya konflik yang lebih besar, bahkan perang.
Prof Sartono Kartodirdjo mendokumentasikan pemberontakan besar yang dilakukan petani Banten terhadap kekuasaan kolonial Belanda pada 1888. Perlawanan itu dianggap sebagai awal dari gerakan sosial yang kemudian meluas di Hindia Belanda.
Dalam buku Pemberontakan Petani Banten (1984), Sartono mengungkapkan bahwa pemberontakan yang dipimpin para ulama lokal itu muncul akibat kesewenang-wenangan Belanda dalam kebijakan mengenai tanah. Perampasan tanah secara semena-mena dan penerapan pajak yang mencekik menjadikan petani yang sudah miskin menjadi makin menderita.
Pada era kolonial, wilayah Banten dan sekitarnya menjadi salah satu daerah yang paling melarat dan menderita. Tanam paksa dan pajak yang mencekik diterapkan dengan sangat keras. Bukan hanya tanah yang dirampas, melainkan hewan ternak seperti sapi dan kerbau, yang menjadi aset utama petani, juga dirampas paksa oleh Belanda. Petani yang menolak dan melawan akan dibunuh atau dikerangkeng di penjara karena dianggap sebagai ekstremis.
Di masa pemerintahan Orde Baru, berbagai kasus agraria dalam bentuk perampasan tanah rakyat terjadi di banyak daerah. Akibat perampasan itu, muncul perlawanan rakyat yang sering berakhir dengan pemenjaraan dan pertumpahan darah.
Kasus tanah petani di Jenggawah, Jember, menjadi salah satu konflik agraria paling fenomenal dalam sejarah Indonesia. Pada 1970-an petani-petani di Jenggawah, Jember, memprotes pengambilan paksa tanah garapan mereka oleh pemerintah. Para petani itu sudah berpuluh-puluh tahun menggarap tanah hasil pembukaan hutan pada masa Belanda.
Para petani menolak perampasan paksa. Terjadilah perlawanan keras.