Belanda Belum Akui Kita Merdeka 17 Agustus 1945

Rabu 23-02-2022,04:00 WIB
Editor : Doan Widhiandono

Sudah 76 tahun Indonesia merdeka. Dan Belanda adalah satu-satunya negara yang tidak mau mengakui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Versi mereka, kita baru merdeka 27 Desember 1949 setelah penyerahan kedaulatan di Amsterdam dan di Jakarta. Anggapan itu tidak berubah meski Perdana Menteri Belanda sudah menyatakan penyesalan mendalam 18 Februari lalu.

PENDIRI Roodebrug Soerabaia Ady Setiawan muak melihat euforia berita-berita atas penyesalan PM Belanda Mark Rutte 18 Februari. Banyak yang menganggap hubungan Indonesia-Belanda bakal harmonis setelah permintaan maaf itu.

Harian Disway sudah memuat pandangannya 21 Februari lalu dengan judul: Permintaan Maaf Belanda itu Omong Kosong. Ady mengunggah berita itu di Instagram -nya. Pernyataan-pernyataan Ady membuat banyak orang mendapat sudut pandang baru. 

Dalam unggahannya Ady menulis, jika memang benar Belanda menyesali tindakan masa lalu, maka penyesalan tanpa konsekuensi hukum adalah omong kosong. “Rutte hanya sedikit lebih baik dari sapi yang menginjak-injak lahan orang lain. Akui bahwa Indonesia merdeka 17 Agustus 1945! Dan kembalikan hak bangsa kami yang telah kalian rampas!” tulisnya.

Menurutnya, Rutte hanya melakukan manuver politik untuk menghindari tuntutan hukum yang terus bermunculan dan terus dimenangkan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B) atas pembantaian di Rawagede, Peniwen, hingga Westerling. Kalau publik Indonesia sudah memaafkan, tentu tuntutan hukum itu bisa dihindari.

Ady juga mempertanyakan uang yang harus dibayar Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Sungguh ironi, ada sebuah bangsa yang harus membayar kedaulatan ke penjajahnya sebesar Rp 4,5 miliar gulden. “Jika memang Belanda merasa bersalah, kembalikan uang bangsa kami!” tegas penulis buku Benteng-Benteng Surabaya (2015) tersebut.

Tak banyak yang lantang bersuara seperti Ady.  Banyak yang malah terbawa euforia bahwa hubungan Indonesia-Belanda bakal harmonis. 

Orang-orang kritis seperti Ady bergabung platform Histori Bersama. Itu adalah platform khusus tiga bahasa: Indonesia, Belanda, dan Inggris yang memuat kisah dan kabar terkini terkait masa kolonial dan perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949).

Ady menyarankan saya menghubungi jurnalis media Belanda yang juga kawan seperjuangannya di platform Histori Bersama (Indonesia-Belanda): Fitria Jelyta. “ Kancaku nang Belanda, dia sering menulis kritik pedas atas sikap politik Belanda terkait sejarah perang kemerdekaan. Orang yang sangat tepat buat diwawancara,” kata Alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang sudah banting setir menjadi penulis sejarah itu.

Fitria adalah Ketua Histori Bersama yang didirikan oleh Marjolein van Pagee 20 September 2016 itu. Komunitas itu sudah membuat press-kit sebanyak 18 halaman bagi para jurnalis atau peneliti sejarah agar tidak keliru memandang penyesalan PM Belanda. 

Kami terhubung dalam telepon WhatsApp kemarin sore. Fitria Indonesia tulen. Ibu Solo, Ayah Bugis. Namun sejak umur 8 tahun, dia pindah ke Belanda karena sang ayah melanjutkan studi di sana. “Sampai sekarang tinggal di sini. Sampai sudah punya anak satu,” ujar perempuan yang ingin sekali bisa berbahasa Jawa itu.

Kini usianya sudah 31 tahun. Meski sudah 23 tahun hidup di Belanda, dia tak mau melepas kewarganegaraan Indonesia. Padahal sudah banyak anak-anak keturunan Indonesia yang melepas kewarganegaraannya. Paspor Belanda memudahkan mereka berkunjung ke negara-negara Eropa. 

Bagi Fitria, mempertahankan paspor Indonesia adalah simbol nasionalisme. Meski hanya enam tahun hidup di Indonesia, dia tak mau tercerabut dari akar Nusantara. “ It's like a sign bahwa kita berhasil mengalahkan penjajah. Mustahil bagi saya untuk menjadi bagian dari negara Belanda,” ujar jurnalis lulusan Tilburg University itu.

Ketua Histori Bersama (Indonesia-Belanda) Fitria Jelyta yang juga Jurnalis DPG Media Netherland yang konsisten mengkritik Pemerintah Belanda terkait kolonialisme terhadap Indonesia.
(Foto: Fitria Jelyta untuk Harian Disway)

Sudah dua tahun ini Fitria menjadi freelance journalist untuk DPG Media Netherland. Itulah jaringan media terbesar di Belanda. Fokus tulisannya ada di bidang keberagaman, Islam, hingga sejarah kolonial Belanda di Indonesia.

Ia sudah mempelajari hasil penelitian Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV), Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD), serta The Netherlands Institute of Military History (NIMH) yang menjadi landasan penyesalan PM Mark Rutte. Ada sejumlah peneliti Indonesia yang dilibatkan. Namun porsi mereka tidak banyak. Sehingga, penelitian dituding berat sebelah.

Tags :
Kategori :

Terkait