Mark Rutte sudah menyampaikan penyesalan mendalamnya kepada rakyat Indonesia, 18 Februari lalu. Lalu bagaimana dengan sikap masyarakat Belanda tentang hal itu? Ketua Histori Bersama Fitria Jelyta yang sudah 23 tahun tinggal di Belanda dan Budayawan Jaya Suprana membagikan kisahnya.
“AKU ada data menarik tentang sikap warga Belanda,” ujar Fitria dalam sambungan telepon WhatsApp, Selasa (22/2). Ada polling tentang sikap warga negara-negara di Eropa terkait former empire atau kerajaan lama mereka. Cuma dia lupa angka detailnya.
Datanya baru dikirim kemarin (23/2). Pukul 03.44 dini hari waktu Belanda. Di Surabaya matahari sudah tinggi. Sudah hampir pukul 10.00. Jurnalis DMG Media Netherland itu memang sering kerja larut malam karena pagi sampai siang harus mengurus anak.
Ia mengirimkan tautan dari YouGov. Itu adalah sebuah firma riset pasar dan analisis data yang berbasis Internet internasional di Britania Raya. Area operasinya meliputi Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah dan Asia-Pasifik.
Judul tautaun itu: How Unique are British Attitudes to the Empire? Diterbitkan pada 11 Maret 2020 oleh Head of Data Journalism YouGov Matthew Smith. Dia melakukan polling terkait pandangan masyarakat yang tinggal di negara yang mayoritas pernah jadi aktor Perang Dunia II. Yakni, Belanda, Inggris, Prancis, Belgia, Italia, Jepang, Spanyol dan Jerman.
Pandangan responden dari negara-negara itu dibandingkan dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan di Inggris. Awalnya peneliti menduga rakyat Inggris pasti yang paling bangga terhadap apa yang dilakukan kerajaan di masa lampau. Ada romantisme yang unik antara warga Inggris dengan kerajaan mereka yang bertahan sampai sekarang.
Rupanya dugaan itu keliru. Orang Belanda-lah yang paling bangga dengan perjalanan kerajaannya. Setengah atau 50 persen orang Belanda bangga dengan kerajaan yang pernah menguasai Hindia-Belanda dan sebagian Afrika Selatan. Sedangkan yang merasa malu atas apa yang sudah terjadi cuma 6 persen.
Orang Inggris berada di urutan kedua dalam daftar, dengan tingkat kebanggaan 32 persen. Sedangkan di urutan selanjutnya ada, Prancis (26 persen), Belgia (21 persen), Italia (21), Jepang (18 persen), Spanyol (11 persen), dan Jerman (9 persen)
“Bayangkan! Yang merasa malu dan menyesal cuma enam persen. Poling ini relevan dengan apa yang saya rasakan di Belanda,” ujar perempuan berkebangsaan Indonesia yang menetap selama 23 tahun di Belanda itu. Orang Indonesia masih sering mendapat diskriminasi di berbagai bidang. Diperlakukan sebagai bekas jajahan.
Masih banyak orang Belanda yang merasa, wilayah Hindia-Belanda masih menjadi hak kerajaan mereka. Makanya, di ujung pembahasan Konferensi Meja Bundar di Den Haag mereka menuntut ongkos kedaulatan Indonesia sebesar 6,5 miliar gulden. Yang kemudian ditawar jadi 4,5 miliar gulden. “Kita utang apa sama mereka? Sudah dijajah ratusan tahun kok harus bayar,” kata alumnus Tilburg University itu.
Pembayaran uang ganti rugi itulah yang membuat Fitria dan para anggota Histori Bersama menyuarakan penolakan penyesalan PM Belanda Mark Rutte. Mereka juga menuntut permintaan maaf Belanda atas apa yang terjadi di masa kolonial sebelum 1945. Penjajahan selama ratusan tahun itu dikesampingkan. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun.
Budayawan Jaya Suprana juga sependapat dengan Fitria. Ia pernah lama menempuh studi dan mengajar di Jerman di tahun 1970-an. Tepatnya di Musikhochschule Münster, dan Folkwang Hochschule.
“Tinggal di sana 10 tahun. Saya suka ke Belanda untuk cari makanan Indonesia,” kata pendiri Museum Rekor Indonesia, yang sekarang dikenal dengan nama Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) di Semarang itu. Berkali-kali ia mendapat perlakuan kasar dari pegawai restoran Chinees-Indisch Restaurant setelah mengaku sebagai warga Indonesia.
Jaya Suprana pernah menerima perlakukan rasisme di Belanda.(Foto: Dok. Jaya Suprana)
Awalnya mereka bersikap sangat ramah. Mereka mengira Phoa Kok Tjiang, nama Tionghoa Jaya, sebagai warga negara Tiongkok. Sikap mereka langsung berubah sinis saat tahu Jaya adalah orang Indonesia. “Saya pernah sampai berkelahi di salah satu toko,” lanjut Jaya.
Ia melihat sumber permasalahan ada di pemerintah dan kerajaan Belanda. Suatu hari ia melihat halaman belakang koran Belanda yang mengelu-elukan Raymond Westerling sebagai pahlawan Nasional Belanda. Dapat anugerah bintang jasa dari Ratu Belanda.
Padahal bagi rakyat Indonesia, Westerling dianggap sebagai monster. Ia adalah pimpinan pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen (DST) yang membantai 40 ribu masyarakat sipil di Sulawesi Selatan pada Desember 1946 hingga Februari 1947.