Dalam pameran tunggal bertajuk Nir di Galeri Aksera Surabaya pada 21-23 Januari 2022 lalu, Dwinanda Agung Kristianto bukan bicara tentang sesuatu yang kosong, hampa, atau tanpa. Ada yang dimaksud Dwinanda lebih jauh tentangnya.
Dalam ruang nir Dwinanda, nir adalah semacam kuldesak. Membagi waktu dengan tibanya jeda. Bagaimana waktu demi waktu dilalui dan terlampaui begitu saja tanpa disadari bahwa pengulangan adalah semacam siklus.
Meski dalam pandangan umum bahwa nir adalah kosong tanpa makna. Namun dalam ruang nir ini kosong adalah penanda dalam ruang kosong. Tak hanya nihilisme yang berlaku dan saling bertaut di sana. Namun chaos dan segala riuh rupanya bertandang mengisinya.
Sebagaimana dalam filosofi Jawa bahwa kosong sejatinya adalah isi, isi sejatinya adalah osong.
Bisa jadi Dwinanda menandai berlalunya waktu dalam ruang nir yang diciptakannya. Dalam sekat-sekat peristiwa demi peristiwa sehari-hari yang merupa dalam terjemahan karyanya kali ini.
Bagi Dwinanda nir bukanlah hal sepele. Nir meruang rupa dalam segala bentuk karya yang menandainya sebagai hal ada dan tiada. Bahkan hal paling sepele oleh kebanyakan awam adalah hal paling esensial buatnya.
Sebab dari sinilah semua berjalan dan membuat jejak dalam ingatan yang direpresentasikannya dalam karya.
Proses kerja kreatif tak melulu terjadi dalam studio atau ruang khusus bagi itu semua. Dalam ruang nir yang tanpa batas hingga menemukan tanda adalah juga salah satu bentuk studio yang merupa dalam imajinasi Dwinanda.
Biar bagaimanapun proses kerja kreatif memang dilandasi oleh imaji dan kepekaan dalam menangkap sinyal yang disampaikan entah itu tersirat ataupun tersurat.
Mengolah kepekaan dalam menangkap apa yang tersirat dan tersurat adalah salah satu cara Dwinanda bekerja dalam ruang nir. Apalah ’ada’ bisa berarti tanpa dibarengi dengan ’tiada’ dan sebaliknya.
Dwinanda memandang nir sebagai wujud yang konkret. Yang sengaja atau tidak sengaja hadir dalam setiap siklus perjalanan karya serta proses kerja kreatifnya. Meski awam menganggap bahwa nir adalah bias nihilisme semata, namun Dwinanda berani mengajukan pernyataan bahwa nir adalah rupa pula.
Kebiasaannya berjalan kaki di sekitar lingkungan tempat tinggalnya merupakan meditasi kala melalui waktu demi waktu yang kadang membuatnya jemu. Namun jemu itu pun bagi Dwinanda berarti dorongan untuk berproses tanpa sengaja.
Menjumputi daun-daun kering yang berguguran, benda-benda yang tak terpakai, kertas koran, kardus, kabel, botol, kaleng dan hal-hal yang dianggap sampah. Dibawanya pulang dan dijadikan material sebagai karya rupa.