Merekonstruksi benda-benda untuk dapat kembali menjadi materi yang konkret dan berdaya guna.Tak hanya selintas pandangan mata tatkala melihatnya tapi juga dapat merasakan nilai estetika didalamnya.
Selain dalam karya seni rupa, Dwinanda juga berkarya performance art sejak 2008. Mulai ikut festival pada 2012. Awal keikutsertaannya pada performance art tatkala berlatih di Padepokan Lemah Putih, Solo milik almarhum Mbah Suprapto Suryodarmo dan Studio Plesungan milik Melati Suryodarmo.
Ia tergabung dalam kelompok PADJAK (Performance Art Djakarta). Beberapa performance art-nya dapat dinikmati lewat channel Youtube PADJAK. Dari performance art inilah Dwinanda berkeliling Eropa sembari membuat catatan penting tentang kesenian.
Kebendaan menjadi prioritas utama dari beragam karyanya. Hal-hal yang umumnya dipandang tak berguna dapat dijadikan material dalam proses kerja kreatifnya.
Apa yang dilakukan Dwinanda adalah reaksinya pada kehidupan terutama keseharian yang tanpa disadari terlewati begitu saja. Tentu saja reaksi individu dalam merespons apa yang ada di sekitarnya berbeda-beda. Inilah yang membentuk karakter yang menjadi ciri khas.
Bagi Dwinanda sebuah karya tak hanya terpusat pada satu materi tertentu. Tubuh juga menghasilkan bahasa rupa dengan gerakan-gerakan yang andai kata kita perhatikan sebetulnya juga berusaha menyampaikan pesan.
Pesan ini yang berusaha ditangkap oleh Dwinanda lewat performance art yang menjadi perluasan medium dalam proses kerja kreatifnya.
Benda-benda memang senantiasa menjadi kumpulan materi kerja. Namun tak melulu hanya sebagai hasil olahan bagi Dwinanda melainkan material pokok dalam tampilan karya yang di pamerkannya. Dia tak memusatkan gagasan-gagasan kreatifnya hanya pada satu material namun juga ruang dan waktu.
Ruang nir baginya adalah ruang konstan. Ruang untuk menengarai apa yang sudah terjadi dan dilakukan, lantas diulang kembali dengan formasi ide yang tak lagi sama. Menciptakan kembali dirinya dalam nir yang berisi dan pepat. Bersama waktu yang tak terhingga dalam ruang nir yang diciptakannya.
Dengan proses kerja kreatif yang memberdayakan segala bentuk ketaksempurnaan, pada akhirnya menjadi kesempurnaan itu sendiri. Sampah yang teronggok begitu saja menjadi bermakna lain dalam ruang rupa nir.
Tentu saja permaknaan benda-benda tak lepas dari pengalaman Dwinanda dalam mengindentifikasi setiap objek yang dia temui tatkala berjalan di sekeliling lingkungannya.
Sebetulnya apa dilakukannya adalah menandai kehadiran nir yang disertai kehadiran objek-objek kebendaan. Bahwa nir telah menjadi bagian dari chaos yang dengan serta merta turut membangun dan mengkonstruksi sifat kebendaan itu sendiri.
Nir bukanlah kekosongan, kehampaan, dan tanpa makna sekali pun. (*)