ASEAN Way untuk Akhiri Krisis Myanmar

Jumat 11-03-2022,04:00 WIB
Reporter : Koesrianti *
Editor : Tomy C. Gutomo

KUDETA junta militer di Myanmar sudah lebih dari setahun berlalu. Namun, belum ada perkembangan yang signifikan menuju perdamaian atas konflik internal tersebut. Konsensus Lima Poin yang telah disepakati KTT ASEAN pada April 2021 untuk menuntaskan konflik di Myanmar itu ternyata belum juga dilakukan semua oleh junta militer.

Krisis politik dan keamanan di Myanmar itu tidak akan pernah selesai jika pihak yang bertikai, yaitu junta militer dan NLD, tetap bersikukuh dengan pendapat mereka sendiri. Jelas, masalah Myanmar tidak bisa diselesaikan secara internal di lingkup nasional, perlu ada bantuan pihak ketiga dan pihak itu adalah ASEAN sebagai organisasi regional kawasan.

ASEAN telah menunjuk Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn sebagai utusan khusus ketua ASEAN untuk Myanmar. Penyelesaian konflik tersebut merupakan ujian bagi kredibilitas ASEAN berdasarkan Konsensus Lima Poin dan Piagam ASEAN.

Kudeta militer Myanmar yang menahan Aung San Suu Kyi bermula dari adanya kecurigaan kecurangan NLD di pemilu. Kekuasaan junta militer dipimpin Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing. Warga sipil melancarkan protes di seantero negeri menuntut keadilan dan demokrasi ditegakkan.

Namun, militer tidak goyah. Junta militer menjanjikan pemilu setelah keadaan aman dan kondusif. Tetapi, janji itu kosong, pemilu pun tak pernah digelar. Krisis makin parah dengan adanya pandemi Covid-19. Dengan demikian, krisis ekonomi, kesehatan, dan kemanusiaan yang bahkan berpotensi melahirkan perang saudara karena konfliknya menjadi meluas melibatkan berbagai pihak. Konflik itu harus segera dicarikan solusi. Jika tidak, akan membahayakan perdamaian dan keamanan kawasan yang selama ini terkenal paling aman di dunia.

 

Kedaulatan Myanmar dan ASEAN

Kedaulatan merupakan hak utuh dan komplet dari sebuah negara, yaitu kekuasaan wilayah yang tertinggi dan tidak dapat diganggu gugat. Dalam perkembangannya, konsep kedaulatan dipahami bukan sekadar hak, melainkan juga berisi tanggung jawab negara, termasuk keamanan dan keselamatan warga negaranya.

Hal itu ditulis Luke Glanville dalam The Sovereignty & the Responsibility to Protect: A New History. Mengacu Glanville, pemerintah yang berkuasa di Myanmar justru tidak bertanggung jawab atas keselamatan warganya dan gagal melindungi warganya.

Dalam konteks ini, negara-negara di luar Myanmar sebagai bagian dari masyarakat internasional harus mengambil alih tanggung jawab itu dan mengambil peran menyelamatkan warga Myanmar sebagai tantangan moral dengan mekanisme responsibility to protect (R2P).

Mekanisme hukum internasional R2P itu merupakan komitmen global seluruh negara anggota PBB yang disepakati saat KTT Dunia 2005. Tujuan R2P ialah mencegah kejahatan internasional dan kejahatan kemanusiaan yang biasanya pelakunya adalah pemerintah penguasa. Karakteristik konflik di Myanmar masuk objek dari R2P. Sejauh ini, 80 resolusi Dewan Keamanan PBB telah menerapkan R2P di beberapa negara di dunia. Meski demikian, R2P itu sangat berisiko dan butuh biaya besar. Bahkan, nyatanya R2P mengalami banyak kegagalan meredam konflik internal negara.

 

Mediasi ASEAN

Konsensus Lima Poin berisi, antara lain, kekerasan harus dihentikan dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya. ASEAN sudah mengirim utusan khusus ketua ASEAN. Meski sebagian menilai Jenderal Aung bersikap kooperatif, kecil kemungkinan ada penyelesaian atas konflik tersebut karena sampai saat ini tidak ada perkembangan sama sekali.

ASEAN harus mendorong para pihak yang bertikai untuk bertemu langsung dan mengadakan dialog konstruktif untuk mencari solusi demi kepentingan rakyat. Sulit bagi ASEAN atau pihak ketiga mana pun menyelesaikan kasus itu karena para pihak tidak mau bertemu secara langsung.

Tags :
Kategori :

Terkait