PRESIDEN Kedua Republik Indonesia Jenderal Besar TNI (purn) H M. Soeharto (1921–2008) mempunyai selera yang tidak biasa dalam mengidentifikasikan diri dengan tokoh wayang. Biasanya, para pejabat mengidentifikasikan diri dengan para kesatria yang tampan, gagah perkasa, dan sakti mandraguna. Namun, Pak Harto lebih suka mengidentifikasikan diri dengan tokoh punakawan dari kalangan rakyat jelata.
Tokoh wayang idola Pak Harto adalah Semar yang dikenal sebagai punakawan yang mengabdi kepada raja-raja Pandawa yang berjumlah lima orang, Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.
Budaya politik Indonesia kontemporer sangat dipengaruhi filosofi pewayangan. Para politikus dan pejabat mengambil cerita dan karakter dalam pewayangan sebabagi filosofi politik. Banyak di antara para elite politik dan birokrasi yang mengidentifikasikan diri dengan tokoh wayang tertentu.
Umumnya yang diambil sebagai idola adalah para kesatria seperti Puntadewa yang dianggap sebagai simbol kesatria yang jujur dan bijaksana. Bimasena, adik Puntadewa, banyak sekali diidolakan para pejabat karena penampilan fisiknya yang tinggi besar dan gagah perkasa. Arjuna sangat banyak diidolakan karena wajahnya yang sangat tampan dan kemahirannya dalam peperangan.
Banyak elite politik yang memajang wayang idolanya di dinding ruang tamu atau ruang kerja mereka. Makin sakti tokoh wayang yang diidolakan, makin banggalah sang pejabat dengan identifikasinya.
Pak Harto berbeda dengan para pejabat lain. Seleranya bisa disebut sebagai anti-mainstream. Pak Harto tidak mengidolakan para kesatria, tetapi memilih Semar sebagai idola. Tentu tampilan Pak Harto yang gagah dan tinggi besar lebih tepat diidentifikasikan dengan para kesatria. Namun, Pak Harto malah memilih punakawan sebagai idola.
Semar bukan sembarang punakawan. Ia mempunyai personalitas yang unik karena campuran manusia dan dewa. Semar adalah makhluk setengah manusia dan setengah dewa. Tampilan fisiknya buruk, tapi kesaktiannya luar biasa.
Semar bisa sewaktu-waktu melabrak kayangan jonggring salaka tempat para dewa bersemayam. Semar merupakan saudara tua dari Batara Guru yang dikenal sebagai ketua para dewa. Kalau semar sedang marah, Batara Guru pun akan dibuat ketakutan.
Semar versi Pak Harto bukan Semar yang merusak kayangan. Sebaliknya, Semar lebih memilih membangun kayangan. Salah satu episode wayang yang terkenal dan menjadi favorit Pak Harto adalah Semar Mbangun Kayangan.
Sebagai realisasi ”Semar Mbangun Kayangan”, Pak Harto menjadikan dirinya sebagai bapak pembangunan Indonesia dengan membangun banyak infrastruktur. Pak Harto juga membangun irigasi dan sarana pertanian sehingga Indonesia bisa mencapai swasembada pangan. Pak Harto menerapkan falsafah ”mbangun kayangan” dan mengadopsinya menjadi filsafat ”developmentalism” atau pembangunanisme.
Titik balik karier politik Pak Harto terjadi pada 11 Maret 1966, ketika menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Bung Karno. Ketika itu Indonesia tengah dicekam krisis politik setelah pecahnya peristiwa 30 September yang melibatkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Tujuh jenderal tewas akibat penculikan yang didalangi PKI.
Di tengah situasi yang guncang itu, posisi Bung Karno menjadi terdesak. Posisi Bung Karno mirip the lame duck, ’bebek lumpuh’, yang tidak mempunyai banyak opsi politik kecuali memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk melaksanakan operasi pemulihan.
Begitu mendapat surat sakti Supersemar, Pak Harto langsung bergerak cepat, membubarkan PKI dan mengumumkannya sebagai partai terlarang. Soeharto juga menangkapi tokoh-tokoh PKI dan sejumlah menteri yang diduga menjadi pendukung PKI.
Supersemar disebut sebagai kudeta terselubung Pak Harto terhadap Bung Karno karena pelaksanaan operasi pemulihan dianggap melenceng terlalu jauh dari amar surat perintah. Namun, kesaksian Probosutedjo, adik Pak Harto, dalam memoarnya, diyatakan bahwa amar Supersemar adalah memulihkan keamanan nasional, dan hal itu tidak bisa dicapai tanpa melakukan tindakan tegas terhadap PKI.
Tepat setahun setelah menerima Supersemar, Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967. Berbekal selembar surat perintah, Soeharto bergerak cepat mengonsolidasikan Angkatan Darat dan menggerakkan milisi rakyat untuk memburu anggota dan simpatisan PKI.