JAKSA penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jawaban eksepsi yang diajukan tim penasihat hukum terdakwa Itong Isnaeni Hidayat. Namun, penasihat hukum (PH) terdakwa, yakni Mulyadi dan Aminudin, tidak puas dengan jawaban tersebut.
Alasanya, eksepsi yang disampaikan jaksa tidak memiliki dasar hukum. Hanya berdasar ilmu kelaziman. Misalnya, terkait penyusunan dan perumusan surat dakwaan. Mereka menilai itu kontradiktif dan melanggar kaidah hukum pidana. Sebab, dilakukan splitzing pada tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama (deelneming).
Jaksa menerangkan, tindakan itu dilakukan berdasarkan pasal 142 KUHAP. Pasal itu berbunyi: dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Tindakan itu dilakukan beberapa terdakwa yang tidak masuk ketentuan pasal 141.
Penuntut umum dapat melakukan menuntut terhadap masing-masing secara terpisah. Dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP yang ditulis Yahya Harahap, halaman 442 ditulis: pada dasarnya pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana terdiri atas beberapa orang.
Apabila terdakwa terdiri atas beberapa orang, penuntut umum dapat menempuh kebijaksanaan untuk memecah perkaranya. Tindakan itu malah membuktikan bahwa dalam perkara yang didakwakan pada Itong Isnaini Hidayat tersebut kurang bukti.
”Sehingga tidak bisa Pak Itong ditarik dalam perkara ini,” kata Mulyadi saat ditemui seusai persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jalan Ir Juanda, Selasa, 5 Juli 2022. Termasuk saksi mahkota yang dinilai tim penasihat hukum terdakwa melanggar kaidah hukum.
”Menurut jaksa KPK, istilah saksi mahkota tidak dikenal dalam KUHAP, tetapi dalam praktik peradilan pidana kerap kali ditemukan. Ini dasarnya apa?” tambahnya.
Beberapa contoh yang diberikan jaksa. Misalnya, dalam kasus yang menjerat mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. Dalam kasus pembunuhan yang menghadirkan Wiliardi Wizard sebagai saksi mahkota.
Dalam tindak pidana korupsi kasus Bank Bali yang menjerat mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, juga dihadirkan seseorang sebagai saksi mahkota.
”Hukum kita jelas aturannya. Jelas cantolannya, bukan berdasarkan kelaziman,” ujar Mulyadi.
Dasar tim penasihat hukum Itong mengajukan eksepsi adalah pasal 156 KUHAP. Mereka menilai dakwaan JPU harus dibatalkan. Penyidikannya juga harus dihentikan. Sabab, bertentangan dengan Pasal 189 KUHAP. Termasuk kaidah hukum, asas hukum, dan UU Hak Asasi Manusia.
”Apa yang disampaikan JPU tadi tidak menjawab eksepsi yang kami ajukan. Karena apa yang disampaikan JPU hanya berdasarkan kelaziman. Sementara kelaziman tidak bisa dijadikan dasar hukum,” terangnya.
”Eksepsi yang kami ajukan jelas dasar hukumnya. Ada pasal 189 KUHAP, ada yurisprudensinya, ada juga surat edaran dari Mahkamah Agung. Semua ada,” ungkapnya. Karena itu, ia berpendapat, semua yang disampaikan JPU tidak mendasar.
”Jawaban jaksa tidak menjawab eksekpsi dari kami, dan kami sangat optimistis bahwa eksepsi yang kami berikan sebagai tim penasihat hukum Pak Itong kepada majelis hakim bakal dikabulkan,” ucapnya.
Tinggal menunggu hasil putusan sela majelis hakim. Sidang akan dilanjutkan dengan pembuktian atau dihentikan. (*)