Kepedulian Istana Karya Difabel (IKD) terhadap anak-anak berkebutuhan khusus dan disabilitas tak hanya berkaitan soal kesenian. Sisi spiritual juga ditanamkan dalam Ngaji bersama Tunanetra yang diikuti oleh 12 anak.
Selain sebagai ruang kantor pengurus sentra kuliner, ruang kecil di sudut utara CH Kuliner itu sekaligus menjadi tempat untuk anak-anak anggota IKD belajar mengaji. Kebetulan ruangan yang terbuat dari papan putih berukuran 2x3 meter itu baru saja selesai dibangun.
IKD langsung memfungsikannya sebagai sarana belajar bagi anak-anak penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus. "Pada 3 Agustus inilah untuk pertama kali para pengurus IKD menyeleggarakan belajar mengaji bersama anak-anak penyandang tunanetra," ujar Andy Elektrik, Ketua IKD.
M Iqro Rafsanjani sedang telaten membimbing anak-anak tunanetra membaca Alquran dalam program Ngaji bersama Tunanetra.
Pada pukul tiga sore, sekitar 12 anak tunanetra memasuki ruangan. Koordinator acara M Iqro Rafsanjani memandu anak-anak tunanetra duduk di tempatnya masing-masing membentuk lingkaran. Di tengah-tengah mereka terdapat wadah kardus berisi tiga Alquran Braille.
"Ade, kamu yang membimbing anak-anak ya," ujar Iqro kepada Ade Dwi Cahyo, penyandang tunanetra yang duduk di bangku SMA. "Siap, Gus," jawabnya, menyanggupi perintah dari pembimbingnya itu. Ia dibantu dua kawannya, Priya Asmara Dewa dan Bryantara. Ketiganya memang telah lancar membaca Braille. Baik huruf latin maupun Hijaiyah.
Metode yang diberikan adalah iqra dasar yakni mengajarkan anak-anak tunanetra lain untuk belajar membaca Alquran Braille. Baik yang menggunakan huruf latin maupun Hijaiyah.
Priya Asmara Dewa dan Bryantara saling berdiskusi tentang huruf Braille Hijaiyah.
Bersama mereka ada dua anak kembar penyandang tunanetra, Muhammad Akbar Sadewa dan Muhammad Akbar Nakula. Sebelum memulai mengaji, keduanya memainkan penutup kardus dengan menggoyang-goyangkannya ke atas-bawah. "Ayo Nakula, Sadewa, kita belajar mengaji dulu ya," ajak Ade pada keduanya.
Mereka akhirnya bisa fokus mengikuti arahan. Ade lebih dahulu mengajak mereka untuk belajar meraba Alquran Braille huruf Latin. Ade lalu menuntun keduanya untuk membuka halaman pertama Alquran yakni panduan huruf Braille yang terdiri dari lingkaran-lingkaran cekung yang dapat diraba.
Dalam format Braille, terdapat enam titik cekung dan beberapa titik menyembul. Huruf A, misalnya, terdapat lima titik cekung dan satu titik di bagian kanan atas yang menyembul. "Ini huruf B. Dik Nakula dan Sadewa, ayo diraba," ajak Ade. Mereka lantas meraba bentuk Braille huruf B yang terdiri dari empat titik cekung dan dua titik bagian kanan atas yang menyembul.
Untuk anak-anak yang bisa membaca Braille Hijaiyah, mereka langsung dituntun untuk membaca satu kalimat. Bryan, membimbing dua perempuan. Yakni Tania Rizki Qoriyati (11) dan Alysa Iftitahurrohmah (13). "Tania, paragraf kedua tentang apa?," tanyanya. "Hamzah al aliya," jawab siswi 11 tahun itu. Bryan mengangguk, membenarkan. "Betul. Kalau dibaca panjang atau pendek?," tanyanya lagi. Tania meraba kembali kalimatnya dan menjawab; "panjang".
Kemudian giliran Alysa yang ditanya oleh Bryan. Tentang cara membaca Samawat. Dia meraba huruf Vraille. "Dibaca panjang, Mas," jawabnya. "Samawat itu apa?," tanya Bryan lagi. "Langit," jawabnya. "Samawat dibaca panjang, dua ketukan," tambah perempuan 13 tahun itu. Bryan kembali tersenyum. "Betul. Pintar kamu, Dik," katanya menyanjung.
Dewa, membimbing Abisali Aqil, membaca surat Al Baqarah. Tampak Abi yang dibimbingnya itu telah lancar melafalkan Al Baqarah. Keduanya membaca bersama-sama, juga beberapa ayat dalam Alquran.
Tak ada kesulitan berarti dalam kegiatan mengaji tersebut. Hanya sesekali dua anak kembar, Nakula dan Sadewa, kadang memanggil ibunya, Anita Tauziah, untuk mengambil tas sekolah mereka. "Minta minum ta?," ujarnya sambil mengambilkan botol plastik berisi minuman. Setelah minum, mereka belajar mengaji lagi. Meraba dan membaca huruf Latin dan Hijaiyah.