Dalam beberapa dekade terakhir ini, prevalensi penyakit alergi baik pada anak-anak maupun dewasa meningkat dengan pesat. Sedikitnya sekitar 30 hingga 40 persen populasi global, memiliki satu atau lebih manifestasi penyakit alergi.
Pada umumnya di negara-negara maju memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibanding negara berkembang.
Gejala penyakit alergi sangat bervariasi, melibatkan berbagai macam organ, mulai yang bersifat ringan hingga yang bisa berakibat fatal. Misalnya mata merah, gatal-gatal, eksem, urtikaria, rinitis (hidung meler, bersin, terasa gatal dan buntu), serta serangan asma.
Alergi terhadap makanan dan obat-obatan, atau sengatan tawon, bisa menimbulkan manifestasi klinis yang fatal. Bahkan dalam beberapa kasus, dapat memicu kematian.
Tanpa tata laksana yang memadai, alergi pada anak akan terus berlangsung hingga remaja dan dewasa. Bahkan dapat terjadi sepanjang hidupnya. Berkembang dan menetapnya respons alergi pada bayi sejak usia dini, hingga lebih progresif saat dewasa, dikenal dengan istilah allergic march.
Faktor risiko timbulnya penyakit alergi yang paling dominan adalah unsur genetik/keturunan. Namun demikian, tanpa adanya interaksi dengan kondisi lingkungan, penyakit alergi tidak akan terjadi.
Paparan polutan lingkungan (misalnya rokok, polusi udara) dan alergen (misalnya makanan tertentu, debu rumah, kapuk, tepung sari) yang berlebihan, serta infeksi mikroba selama masa anak-anak, menjadi kontributor penting penyakit menahun/kronis ini.
Riwayat persalinan melalui sectio caesarea (SC) atau operasi sesar, dapat meningkatkan risiko bagi seorang bayi mengalami alergi pada masa yang akan datang.
Pekan ASI Sedunia merupakan momentum penting meningkatkan kualitas sumber daya manusia di segala bidang. Tidak hanya bagi ibu menyusui dan anaknya, tapi juga bagi masa depan Indonesia. (Oleh: Ari Baskoro (Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam, FK Unair/RSUD Dr Soetomo Surabaya)