Seniman Prancis Alex Grillo berpentas bersama mitra historisnya, seniman Jawa Tengah yang tergabung dalam Gayam 16. Berjudul Legenda Godogan, aksinya di Dian Auditorium, Universitas Ciputra, Surabaya itu sekaligus merayakan sebuah persahabatan.
Gong berbunyi. Menandai pembukaan pementasan Legenda Godogan di Dian Auditorium, Universitas Ciputra, pada 25 Agustus 2022. Narasi dalam bahasa Indonesia dan Prancis bersahut-sahutan. Suara katak dari alat musik digital. Aktor plontos, Warto Bosa, bergerak ke tengah panggung sembari tertawa puas.
Aksi Alex Grillo yang memainkan lakon Legenda Godogan bersama Gayam 16. Dengan lakon itu, Alex sekaligus merayakan persahabatannya dengan para seniman yang terjalin selama 25 tahun.
Permainan gambang bertalu dengan lembut. Seperti bunyi konstan air hujan yang membentur atap genting. Warto –Godogan- tertawa mendengar suara katak-katak tersebut. ”Katak, kau hanya sumber suara. Unsur akustik untuk melayani kebutuhan sainsku!,” teriaknya. Alex menyampaikan itu dalam bahasa Prancis sembari memainkan saron.
Putri Raharjo, tampak datang ke tengah panggung dengan mengenakan topeng katak hijau. Putri seniman gamelan ternama Sapto Rahardjo itu menjadi tokoh katak yang menari-nari di tengah iringan gamelan. Dia melakukannya bersama Warto.
Terjadi dialog. Tentang filsafat alam, katak, dan segala hal yang dilakukan Godogan. Bersahutan antara bahasa Indonesia dan Prancis yang dibawakan aktor perempuan dilakukan Marie-Pierre Faurite, yang sekaligus bermain bonang.
Suasana Dian Auditorium dalam imajinasi yang terbentuk melalui musik dan gesture, menjelma menjadi areal persawahan. Sementara pengunjung seperti duduk di tiap jalan setapak yang membatasi lahan demi lahan.
Bayang lampau, suasana perdesaan ketika hujan tiba dan puluhan suara katak bersahutan. Dian Auditorium dalam imajinasi yang terbentuk melalui musik dan gesture, menjelma menjadi areal persawahan. Pengunjung seperti duduk di tiap jalan setapak yang membatasi lahan demi lahan.
Aktor katak melepas topengnya. Rambut terurai. Dengan tatapan tajam, ia menoleh pada Godogan yang terus tertawa. Suasana menyayat terbangun dari lengking gema saron dan bonang.
Marie-Pierre dan Alex tak memukulnya dengan ganden atau alat pemukul gamelan. Melainkan satu alatnya dibalik. Lalu lubang resonansinya digesek dengan alat panjang yang biasa digunakan untuk menggesek sitren.
Suara itu menghasilkan gema yang melengking tapi lembut. Digesek berulang-ulang sehingga memberi efek seperti desis angin yang melewati celah-celah bambu yang rapat. Sedikit mendesis.
Godogan beranjak ke tengah-tengah penonton. Naik di atas bangku dan menatap semua orang. ”Kenapa kamu marah, Godogan,” kata katak.
Disusul terjemahan Marie-Pierre dalam nada langgam yang sama, berbahasa Prancis. ”Sawah, tanah, dikeringkan oleh keserakahan!,” teriak Godogan, yang diterjemahkan Alex. ”Jeritan dari katak emas terakhir yang berteriak! Angin panas itu telah memakan kulit emasnya habis-habisan!,” kata Godogan.
Ia lalu naik ke atas panggung lagi. Diiringi Putri. Kemudian duduk bersila, mengangkat tangan. Aktor putri yang semula katak, lalu berubah dalam wujud aslinya sebagai dukun itu bergerak mengitarinya. Sembari menari.
Azied Dewa, pemain gamelan saron memukul-mukulkan alat musiknya. Disusul bunyi noise dari alat musik digital yang dimainkan Christian Sebille. Sudaryanto dengan gambangnya membuat bunyi bertalu-talu. Ditambah dengan sayatan batang ganden yang dilakukan oleh Alex. Memunculkan desing noise yang tajam.
Pementasan itu dibuat berdasarkan penelitian panjang Alex saat berkunjung ke Indonesia, 25 tahun lalu. Ketika itu ia berdiam di lereng Gunung Merapi. Menggeluti suasana alam dan tertarik dengan suara katak bersahut-sahutan. Proyek musik pertamanya dikerjakan dengan Sapto Rahardjo yakni Kembalinya Katak-katak dan Katak-Katak Bertango.
Legenda Godogan mengusung konteks permasalahan masa kini. Tertuang dalam cerita rakyat lantas dikolaborasikan dengan sistem musik digital dan tradisional. Narasi Indonesia dan Prancis berkelindan dengan bunyi-bunyian khas yang muncul dari pengolahan tersebut.