Ada yang istimewa di perayaan HUT Ke-710 Kota Surabaya pada 31 Mei 2003. Tepat 19 tahun silam, ratusan ribu warga kota memadati kampung pecinan di Jalan Kembang Jepun. Sebab, Kya-Kya diresmikan untuk kali pertama.
--
“ITU sebagai hadiah warga kota kepada Pemkot Surabaya,” ujar Freddy H. Istanto. Ucapan itu bukan dari gagasannya sendiri. Melainkan kalimat yang dipinjam dari Dahlan Iskan yang kini menjadi founder Harian Disway.
Ya, Dahlan merupakan penggagas awal didirikannya Pusat Kya-Kya Kembang Jepun. Tempat itu mendapat dukungan dari puluhan pengusaha asal Surabaya. Sementara Freddy yang dosen arsitektur itu ditunjuk sebagai perancang arsitekturnya.
Peresmian dihadiri langsung oleh beberapa tokoh. Di antaranya, Dahlan, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, dan Alim Markus. Dibuka dengan memukul tambur barongsai oleh wali kota.
Freddy H. Istanto (kiri), Jero Wacik (dua dari kiri), dan Dahlan Iskan (kanan). -Dokumentasi Freddy H. Istanto-
Sebetulnya, konsep Kya-Kya itu diadopsi dari berbagai kota besar di luar negeri. Seperti Shanghai, Beijing, Bangkok, hingga Singapura. Di kota-kota itulah banyak wisata food street tersebar di mana-mana.
“Ide awal Pak Dahlan begitu. Jadi dipilihlah kampung pecinan di Surabaya,” lanjut Freddy kini yang mengajar di Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra itu. Proses pengerjaannya pun hanya tiga minggu. Terhitung sangat singkat.
Bahkan, pengecoran dan pembangunan dua gapura besar sebelah barat-timur dikerjakan agak sembunyi-sembunyi. Mengingat saat itu ide Kya-Kya masih tak disetujui oleh anggota dewan maupun pemkot.
Alasannya pun cukup traumatis. Di era 2000-an, sentimen terhadap etnis Tionghoa masih kuat. Meski Presiden Abdurrahman Wahid telah membuka kembali keran kebudayaan yang sempat disumbat oleh pemerintah Orde Baru itu.
Peng.unjung Kya-Kya Kembang Jepun pada 2003-Dokumentasi Freddy H. Istanto-
“Sembari diam-diam membangun, kami rapat terus dengan dewan,” lanjut Freddy. Yang paling ia ingat, rasa sentimen etnis tersebut juga tecermin dalam usul anggota dewan. Yakni untuk mengganti atap bangunan arsitektur khas Tiongkok dengan atap model joglo khas Jawa.
Usul itu ditolak keras lantaran bertolak-belakang dengan prinsip. Sebab, bagaimanapun, Kya-Kya harus berdiri dari akar kebudayaan Tionghoa. Tidak boleh dipermak. Simbol identitas yang puluhan tahun didiskriminasi Orba itu harus segera diberi ruang.
Akhirnya, Kya-Kya pun berhasil didirikan. Dua gapura besar beratap dua ekor naga pun berdiri gagah. Menjadi gerbang pintu masuk sebelah barat dan timur.
Food Street diramaikan oleh 175 stan dan 500 meja makan. Terbagi menjadi tiga jenis kuliner. Paling timur, khusus menu-menu khas Nusantara. Di bagian tengah khusus menu-menu internasional dan paling barat untuk menu-menu khas Tionghoa.