Suasana saat pembukaan Kya-Kya Kembang Jepun 31 Mei 2003.-Dokumentasi Freddy H. Istanto-
Kya-Kya dibuka rutin setiap hari. Bahkan sering diadakan pementasan seni dan kebudayaan. Terutama yang khas Tiongkok seperti aksi barongsai.
“Itu strategi kebudayaan yang kami jual. Prinsipnya memberi ruang untuk berekspresi secara merdeka bagi saudara-saudara Tionghoa,” ungkap Freddy. Antusiasme masyarakat pun sungguh luar biasa.
Setahun pertama, nyaris tak ada kendala apa pun. Keamanan cukup mumpuni dengan menyiagakan 30 personel TNI tiap malam. Tahun kedua pun begitu. Kunjungan datang dari orang-orang luar kota. Termasuk para tokoh nasional dan artis.
“Tahun ketiga mulai terasa agak sepi,” imbuh Freddy. Jumlah pengunjung mulai turun drastis. Itu ditengarai karena beberapa hal. Terutama karena harga makanan yang dijual terlalu mahal.
Selain itu, Freddy juga mengungkap kesalahan penyelenggara yang agak fatal. Yakni para pedagang tidak dikurasi. Dan tidak ada monitoring secara rutin. Sehingga harga jual makanan tidak bisa dikendalikan.
“UMKM boleh ngisi, tapi yang berkelas kan banyak. Itu yang tidak kami pilih,” jelasnya. Maka kurasi wajib dilakukan. Setiap UMKM dibina secara rutin. Yakni untuk pengemasan dan standar kualitas produknya.
Prinsipnya, makanan enak pasti akan dicari meski harga agak mahal. Sebaliknya, makanan mahal tak berkualitas akan ditinggalkan konsumen. Itulah yang terjadi pada Kya-Kya lama. Terpaksa mengakhiri kontrak pada 2008.
Poin-poin itu yang harus diperhatikan oleh Pemkot Surabaya. Harus menjadi bahan evaluasi. Agar Kya-Kya Reborn bisa lebih baik dari sebelumnya.
Freddy juga mengusulkan satu hal lain. Bahwa pengelolaan Kya-Kya nanti lebih baik diserahkan ke EO khusus. Atau bisa dengan membentuk badan otoritas khusus mengurus Kya-Kya.
Apalagi tantangan zaman juga beda. Dulu, Kya-Kya memanfaatkan momentum kerinduan masyarakat Tionghoa terhadap kebudayaan mereka. “Sekarang beratnya kan di pemasaran. Nggak ada momentum lagi. Jadi perlu strategi baru untuk menarik masyarakat terkini,” tandas Freddy. (*)