Bentuk objek Borobudur digambarkan samar dengan torehan warna tajam. Berdiri di atas bidang warna putih dengan aksen warna-warna gelap samar. Bidang putih tersebut seperti terpotong di bagian kiri.
Seakan mengesankan bahwa eksistensi Borobudur sebagai bentuk peradaban mahakarya leluhur, semakin terkikis oleh zaman yang semakin canggih. Ibarat terlenanya manusia akan nilai-nilai luhur yang dihasilkan oleh nenek moyang. Tapi bagaimana pun, sebagai hasil peradaban, Borobudur akan senantiasa gagah dan mampu bertahan.
I Made Romi Sukadana dan Mola, owner dan founder Mola Art Gallery mengapit karya berjudul Mahakarya.
Karakter tersebut dihasilkan oleh ya’tra terus-menerus. Belajar seumur hidup. Serta dalam beberapa tahapan, pasti ia menemukan perubahan-perubahan. ”Bahkan saya sendiri belum begitu yakin, apakah saya akan bertahan dengan karakter seperti itu. Tergantung eksperimen-eksperimen yang saya lakukan selanjutnya,” terangnya.
Mungkin ia akan beralih pada gaya abstrak atau kontemporer. Segalanya mungkin.
Tapi bagi Romi, satu hal yang tak bisa ia tinggalkan, bahwa karya-karya yang dibuat berlandaskan pada objek alam. ”Sebenarnya saya tak terlalu terikat pada kecenderungan tertentu. Saya berkarya dengan bebas dan tak terikat apa pun. Sejauh ini inti melukis untuk kepuasan batin,” ungkap pria yang berdomisili di Denpasar itu.
Semua rekam jejak Romi dalam bereksperimen hingga kini masih tersimpan dengan baik di kediamannya. Mulai dari eksperimen pencampuran cat di atas tripleks atau kardus bekas, kanvas-kanvas atau kertas berukuran kecil. Beberapa di antaranya berbeda dengan gaya melukisnya saat ini. ”Benda-benda itu adalah catatan memori perjalanan saya,” ujarnya.
Itulah ya’tra dalam perjalanan sebelum Romi menemukan ciri khasnya. Seluruhnya ia anggap sebagai ujian diri. ”Saya terbiasa menantang diri sendiri. Misalnya bisa tidak saya melukis dengan warna ini-itu atau objek ini-itu, dan tantangan-tantangan. Sesuatu yang akan terus saya lalui. Demi pencapaian-pencapaian selanjutnya," pungkasnya. (*)