Bicara angka, jumlah suku Jawa –jaraknya– cukup jauh dengan suku lain. Tapi, suku Jawa masih jauh juga dari batas 50 persen. Syarat kemenangan pilpres juga harus lebih dari 50 persen.
Kemenangan dalam pemilihan banyak faktor. Mengapa Hadi yang nonmuslim bisa menang di Solo? Iya karena petahana (menggantikan Jokowi). Didukung kekuatan politik sangat dominan (PDIP) di kota itu. Kalau untuk Solo, PDIP memang superdominan. Selain itu, track record Pak Hadi juga orang baik.
Mengapa Gubernur Zul menang? Juga mempunyai track record yang sangat baik. Juga, karena strategi berpasangan dengan wakil yang masih bagian dari patahana. Adik gubernur sebelumnya.
Di era berbagai platform media ini, track record calon sangat penting. Setiap orang dengan mudah bisa membaca atau mengorek jejak para calon. Dengan mudah mengetahui prestasi dan kehebatan para calon.
Tapi, masyarakat juga mengetahui kelemahan dan keburukan sang calon. Sudah makin pandai membedakan mana pencitraan dan prestasi. Mana yang bekerja ikhlas dan mana sekadar polesan citra untuk mendapat perhatian publik.
Di era digital ini, mau tidak mau faktor track record dan pencitraan menjadi dominan. Publik juga bisa memberikan penilaian. Setiap pemilih akan melihat berbagai faktor klik dengan calon tidak sekadar kesamaan suku, agama, atau gender.
Bisa jadi pemilih Jawa klik dengan non-Jawa karena kesamaan visi dan pola pikirnya. Begitu juga dengan suku lain yang memilih orang Jawa karena berbagai faktor seperti kesamaan parpol atau faktor lain. Bahkan, dengan komunikasi dua arah, bahkan publik ikut membangun opini positif dan negatif.
Seharusnya di era komunikasi terbuka, rakyat terus didorong untuk membuka track record calon. Bukan lagi memilih dengan dikotomi suku, agama, gender, atau sipil-militer.
Saya tidak tahu mengapa Luhut memunculkan dikotomi itu, di tengah menguatnya nama Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, saat pilpres makin dekat. (*)