Syarat cuma satu: KJP dilarang diuangkan. Supaya tidak dibuat beli macam-macam, selain kebutuhan anak sekolah. Memang itu mirip ATM, tapi bukan ATM.
Ternyata bisa disiasati begini: Pemegang KJP ke toko-toko tertunjuk. Minta digesek, tukar uang. Toko memberi syarat pula ke pemegang KJP, dipotong 10 persen. Total cair jadi Rp 300.000 per bulan. Tokonya untung Rp 30.000.
Kasus Yusri Isnaeni begini: Dia mengaku ke wartawan hendak beli seragam sekolah anak. Datanglah dia ke toko tertunjuk. Tertolak. Kata pihak toko, jaringan offline. Isnaeni datang lagi, tertolak lagi. Off lagi.
Toko mengaku bisa melayani, asal dicairkan. Atau tukar duit. Tapi, dipotong 10 persen, Rp 30.000. Isnaeni terpaksa mau. Dicairkan. Tapi, dia tidak ikhlas dipotong Rp 30.000. Itu kan hak dia. Duit dia. Duit rakyat buat dia.
Kamis, 10 Desember 2015, Isnaeni mendatangi gedung DPRD DKI Jakarta. Niatnya mau tanya, kenapa begitu? Kenapa harus dipotong Rp 30.000?
Kebetulan di DPRD sedang rapat dengan gubernur. Isnaeni menunggu sampai rapat selesai. Begitu rapat usai, dia melihat Ahok. Langsung, Isnaeni mendatangi Ahok. Yang saat itu dikerubuti wartawan, tanya ini itu.
Isnaeni mendesak wartawan, langsung protes ke Ahok. Dia ceritakan kronologi. Protes Isnaeni: ”Mengapa KJP sulit? Mengapa saya kena potongan Rp 30.000?”
Ahok terlalu stres. Menanggapi emosi: ”Kan KJP sudah lama berjalan (waktu itu, setahun lebih). Dilarang mencairkan, Ibu... Berarti, tokonya maling. Ibu juga maling.”
Sejenak sepi. Lalu, Isnaeni menangis keras. Malu dilihat banyak wartawan. Direkam kamera, diberitakan media massa. Anak Isnaeni yang masih SD, kata Isnaeni, diledeki teman-teman sekolah bahwa punya ibu maling.
Isnaeni melaporkan Ahok ke Polda Metro Jaya. Menggugat pula perdata Rp 100 miliar. Tapi, laporan Isnaeni tak pernah diproses. Macet. Barangkali, polisinya mumet juga.
Kasus Isnaeni cuma contoh ekstrem. Ekstrem negatif. Dari ribuan aduan masyarakat yang dilayani Ahok. Sukses. Menggembirakan rakyat. ”Wong cilik melu gemuyu,” kata Presiden Pertama Soekarno.
Ribuan aduan warga di zaman Ahok. Bukan pelintiran. Memang nyata. Sehari bisa 10–20 aduan. Sampai Ahok dihukum dua tahun penjara, penistaan agama, Selasa, 9 Mei 2017.
Mungkin, ada jutaan unek-unek publik Jakarta. Menunggu giliran mengadu. Katakanlah, sejuta problematika warga DKI Jakarta. Sehari, seorang mengadu. Butuh sejuta hari.
Konsekuensi buat pemimpin (yang ikhlas melayani warga) berat. Butuh pemimpin tenaga kuda. Otot kawat, tulang besi. Jujur sejujur balita. Cerdas sederdas the man of millennium, Albert Einstein. Mentalnya selembut susu (susu sapi, ya...). Gak gampang marah, kayak Ahok.
Kupikir: Anies Baswedan benar. Menutup aduan publik. Tak perlu ada aduan publik.
Jelang akhir jabatan Anies, Kamis, 6 Oktober 2022, Jakarta banjir, parah. Dikutip dari Detikcom, Jumat, 7 Oktober 2022, judul: Titik Banjir di Jakarta Jadi 90 RT, Tinggi Air Ada yang Capai 2 Meter.