DALAM sebuah wawancara dengan media seusai pelantikan dua tahun lalu, 23 Desember 2022, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan gagasannya. Yakni, agama adalah inspirasi, bukan aspirasi.
”Agama sebisa mungkin tidak lagi digunakan sebegai alat politik untuk menentang pemerintah atau merebut kekuasaan atau mungkin untuk tujuan-tujuan yang lain,” jelas Gus Yaqut.
Pada bagian lain, ia juga menyampaikan bahwa belakangan muncul upaya untuk menggiring agama sebagai sumber konflik. Apabila tidak tegas dalam menempatkan posisi agama, kebinekaan Indonesia bisa terganggu.
Meskipun, tidak disebutkan secara spesifik pernyataan tersebut masih berkaitan dengan maraknya gerakan massa belakangan ini setelah mantan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab kembali ke Indonesia. Fenomena serupa dikhawatirkan meluas dan membesar sebagaimana peristiwa Aksi Bela Islam GNPF-MUI 2016–2017.
Gagasan agama sebagai inspiratif bukan aspiratif mengingatkan kembali pada perdebatan hubungan Islam dan politik pada masa Orde Baru, ketika kebijakan depolitisasi melalui penyederhanaan partai politik dan pemaksaan Pancasila sebagai satu-satu ideologi, baik ormas maupun partai politik.
Melalui jargon ”Islam yes, partai Islam no!” Nurcholish Madjid atau dikenal dengan Cak Nur pada era 1970-an merespons upaya institusionalisasi Islam dalam kehidupan negara melalui partai politik. Cak Nur memandang Islam tidak harus dilembagakan dalam partai atau negara karena justru dapat merendahkan Islam.
Namun, cukup dengan memasukkan nilai-nilai universal Islam seperti konsep keadilan (al-adalah), persamaan (al-musawa), musyawarah (al-shura), dan kebebasan (al-hurriyah) dalam praktik bernegara.
Sementara itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1982-an menggagas ”pribumisasi Islam”. Yakni, konsep dakwah dengan strategi kebudayaan sebagaimana dilakukan Wali Sanga dengan tidak mempertentangkan secara tajam antara syariah dan budaya lokal.
Belakangan muncul lagi dengan sebutan ”Islam Nusantara” yang digambarkan sebagai Islam yang ramah, toleran, dan nyambung dengan budaya Indonesia. Pemikiran tersebut sebagai respons atas upaya kelompok yang ”memaksakan” praktik Islam seperti model Timur Tengah (Arabisme) yang mulai populer saat itu.
Akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an muncul lagi pemikiran pribumisasi Islam dengan terminologi ”Islam kultural” sebagai respons atas ”Islam struktural” yang diwacanakan oleh kelompok modernis.
Pada tahun-tahun tersebut muncul wadah kaum intelektual yang disebut ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang diisi kaum terpelajar, teknokrat, dan mendapatkan ruang dalam pemerintahan Soeharto. Organ tersebut dipimpin B.J. Habibie dan beberapa pengurus teras seperti Wardiman Djojonegoro, Adi Sasono, dan Achmad Tirtosudiro yang mendapatkan jabatan penting di pemerintahan.
Muncul terminologi ”Islam struktural” sebagai bagian afirmasi perjuangan dan dakwah Islam ”dari dalam” melalui representasi muslim di pemerintahan. Namun, Gus Dur yang saat itu menjadi ketua PBNU merespons secara negatif karena setiap aksi akan melahirkan reaksi.
Perkumpulan intelektual muslim yang bercorak primordial akan direaksi oleh kelompok agama lain dengan membuat organisasi serupa. Apa yang disampaikan Gus Dur terbukti. Sebab, tidak lama setelahnya muncul organisasi cendekiawan Kristen dan Hindu.
”Islam yes, partai Islam no”, ”pribumisasi Islam”, dan ”Islam kultural-Islam struktural” merupakan varian dalam mengimplementasikan Islam di Indonesia. Demikian pula jargon ”Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi”.
Meski secara harfiah berbeda, maknanya sama. Yaitu, agama apa pun (termasuk Islam) merupakan agama yang mulia yang harus diposisikan di atas politik dan negara. Karena bersumber dari Allah SWT yang jangkauan kewahyuannya lintas suku, etnis, dan bangsa, Islam perlu ditempatkan sebagai ”kekuatan supra” yang berdiri di atas semua kepentingan manusia yang tersublimasi dalam ”sistem”.