SURABAYA, HARIAn DISWAY - Menyambut Hari Wayang Nasional, Te Kamajaya menggelar pameran tunggal Wayang dalam Perspektif Te Kamajaya. Di sinilah, konsistensi Te sebagai pelukis wayang dibuktikan.
Wayang bercerita banyak hal. Representasi sifat manusia ”Sebab pencipta wayang beserta kisahnya bukan hanya seniman, tapi juga psikolog dan spiritualis tingkat tinggi,” kata Te.
Seperti dalam karya berjudul Karno Larung. Tampak semburat warna seperti asap menggulung. Menyelimuti sebagian tubuh Dewi Kunti yang sedang berada di pendapa taman Istana Kuntiboja.
Menggradasi jingga, memutih, cerah menyelimuti bagian tengah, lalu kembali gelap di beberapa sisi. Menyiratkan unsur mistis ketika Batara Surya hadir ke dunia. Terpanggil oleh mantra Adithyahrehdaya.
Karno Larung, lukisan tentang wayang yang berkisah tentang perjalanan Karno, putra pertama Dewi Kunti. --
Sosok Karno yang telah dewasa dan Adirata ada di sebelah kiri lukisan. Diselimuti gulungan-gulungan warna gelap-terang yang menandakan perbedaan dimensi. Sebelah kanan adalah masa lalu ketika Kunti didatangi oleh Batara Surya, yang menganugerahinya anak.
Sedangkan sebelah kiri adalah adegan ketika Karno dewasa yang dinasihati oleh Adirata, ayah angkatnya. ”Karno itu sosok yang terbuang. Dikucilkan oleh para bangsawan. Tapi ia bisa membuktikan, bahwa kemampuan dan kecerdasanlah yang membuat seseorang dapat diakui,” ujarnya.
Te menceritakan bahwa hidup Karno berubah. Ketika remaja ia datang pada Resi Durno untuk belajar ilmu kanuragan. Tapi ditolak dan direndahkan. Ketika dewasa, tiba-tiba ia datang dalam kompetisi antar pangeran Hastina, lalu menantang Arjuna sebagai pemanah terhebat.
Kemampuan Karno yang menyamai Arjuna membuat ia mendapat pengakuan. Bahkan Duryudono yang dikenal jahat dan licik, mengangkat Karno menjadi Raja Negeri Awangga.
”Karena Karno merasa ditolong oleh Duryudono. Maka ia membalas budi dengan memihak Kurawa. Tapi ia tetap tahu yang mana yang benar dan mana yang tidak. Karno sejatinya selalu adil,” ujar perupa 73 tahun itu.
Dari 45 lukisan, sebanyak 34 buah dipajang dengan cara digantungkan di bagian atas Kafe Taman.--
Karno merupakan tokoh wayang yang memiliki ketegasan soal keadilan. Ia bukan tipe orang yang mudah dihasut. Pribadinya tegas, rela berkorban nyawa demi memenangkan adik-adiknya, Pandawa, yang berperang atas nama kebenaran.
Bagi Te, Karno adalah representasi dari kata bijak sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. ”Orang harus bersikap adil sejak dalam pikiran. Adil sejak dalam pikiran!,” ungkapnya.
”Namun meski ia memihak kejahatan, hal itu dilakukan demi balas budi semata. Malah Karno tetap dapat membedakan mana yang benar dan tidak. Karena ia telah bersikap adil sejak dalam pikiran,” lanjutnya.
Hingga 30 November di Surabaya Suites Hotel, sebanyak 45 lukisan Te menganalogikan kisah wayang dengan kejadian masa kini. Uniknya, 34 lukisannya dalam posisi tergantung seperti melayang di atas Kafe Taman.
”Saya ingin menyajikan hal yang berbeda. Ide ini sangat didukung Pak Firman S Permana, GM Surabaya Suites Hotel yang sangat berperan banyak dalam pameran saya dan acara Wayang Sebulan Suntuk,” ungkapnya.
Kalaupun jika dimaknai, presentasi lukisan semacam itu seakan menata lukisan layaknya lampu blencong di atas kelir pewayangan. Yang tergantung dan luput dari perhatian banyak orang. Padahal lampu itulah yang menjadi bagian penting untuk pertunjukan wayang. Dengan penonton yang melihat dari balik pakeliran atau kain putih yang membentang.