SURABAYA, Harian Disway - Sebanyak 20 mahasiswa dari program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM), yang sedang menuntut ilmu di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, berkesempatan untuk mengunjungi Perpustakaan Medayu Agung dan berbincang dengan Oei Hiem Hwie. Ialah tokoh literasi, pelaku sejarah sekaligus pendiri perpustakaan tersebut.
Mereka merupakan mahasiswa lintas kampus dari berbagai daerah yang dibimbing oleh Eddy Wahyudi dan Niken Adriati Basyarah, dosen dari Untag. “Mereka belajar di Untag selama 4 bulan sesuai program studi di kampusnya masing-masing. Kini, mereka sedang belajar tentang kebhinekaan. Salah satu tokoh inspiratif di bidang tersebut adalah Pak Hwie,” ujar Eddy.
Dosen prodi Administrasi Negara, FISIP, Untag itu menyebut bahwa Hwie adalah sosok yang berjasa menyelamatkan dokumen-dokumen lama terkait sejarah perjalanan bangsa. Utamanya media dan benda-benda penting masa lalu. “Termasuk naskah Bumi Manusia karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer,” ujar pria 57 tahun itu.
Dalam kunjungan tersebut, para mahasiswa mengamati berbagai dokumen media massa lama. Bahkan beberapa media berasal dari era dekade ’40an yang masih tersimpan rapi dalam almari maupun bilik-bilik kaca. “Terus terang saya takjub. Di sini saya bisa membaca peristiwa sejarah bangsa yang tertulis di koran-koran lama. Apalagi Pak Hwie adalah pelaku sejarah langsung,” ungkap Balqis Fahira, mahasiswa Universitas Syah Kuala, Aceh.
Hwie juga mengajak para mahasiswa untuk duduk di ruangan tengah perpustakaan. Ia banyak bercerita seputar pengalamannya ketika menjadi eks tahanan politik (Tapol) peristiwa besar 1965 berpuluh tahun silam. “Saya dulu mantan wartawan Trompet Masjarakat. Ditahan oleh Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru karena dianggap Soekarnois,” ujarnya.
Meski usianya telah kepala delapan, ingatan Hwie masih sangat tajam. Ia bercerita dengan baik seputar pengalamannya di Pulau Buru, termasuk tentang kawan sekaligus gurunya, Pramoedya. “Mas Pram (panggilan Pramoedya) dulu selalu menulis karyanya dan membuat salinannya. Salinan itu yang dititipkan pada saya,” kenang ayah dua anak itu.
Kemudian ia mengajak para mahasiswa ke arah bagian belakang ruang perpustakaan Medayu Agung. Hwie menunjukkan sebuah benda persegi dari semen cor, dengan dua pengait di kanan-kiri. “Ini sebenarnya penutup septictank. Tapi fungsinya hanya untuk mengelabui petugas. Di dalam lubang septictank itulah saya menyembunyikan naskah-naskah mas Pram,” tuturnya.
Banyak pelajaran berharga yang didapatkan para mahasiswa PMM yang sedang menempuh masa belajar di Untag itu. Mereka semua merasa berada dalam ruang silam, di tengah pajangan benda-benda antik, buku-buku dan koran-koran lama. “Sebagai generasi muda, berkunjung ke Perpustakaan Medayu Agung sama seperti mengingat ujaran Bung Karno: Jangan sekali-kali Melupakan Sejarah,” kata Muhammad Arya Yusuf, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar. (Guruh Dimas Nugraha)