oleh
Awik Latu Lisan
penikmat film, member Group Hobby Nonton
Sepeninggal Chadwick Boseman sebagai Black Panther, sutradara sekaligus penulis naskah Ryan Coogler menghadapi pekerjaan berat. Ia harus membangun cerita baru menggantikan kisah asli yang sudah dirancang lama. Bagaimanakah hasilnya? Group Hobby Nonton akan menceritakannya untuk kalian.
BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER adalah tribute yang sangat luar biasa untuk mendiang Chadwick Boseman. Bahkan, opening logo Marvel dibuat seperti momen mengheningkan cipta yang keren dan khidmat.
Selain itu, demi menghormati sang aktor, Marvel memastikan bahwa karakter Black Panther tidak akan di-casting ulang. Dan tidak akan dimunculkan dalam bentuk digital apapun. Jadi, karakter Black Panther akan selamanya menjadi milik Chadwick Boseman. Sampai nantinya gelar pahlawan super itu diwariskan ke karakter lainnya.
Plot utama Wakanda Forever adalah suasana duka yang menyelimuti Wakanda setelah kematian Raja T’Challa (Chadwick Boseman). T’Challa diceritakan meninggal karena sakit. Shuri (Letitia Wright), sang adik, kemudian menjadi fokus film ini. Ramonda (Angela Basset), ibu T’Challa, menggantikan anaknya memimpin Wakanda. Dengan begitu, mudah ditebak siapa yang mewarisi karakter Black Panther. Ya benar: ibunya. Hahaha… Bukan, bukan.
Kehilangan aktor saat di tengah proses perencanaan produksi memang sangat berpengaruh. Dan menjadi bermasalah lagi jika yang pergi adalah karakter utamanya. Tapi, saya akui, kegigihan Coogler merombak naskah hingga menciptakan plot dan cerita yang cukup sulit ini sangat bagus. Upayanya sudah lebih dari cukup. Tapi, terasa sekali film ini kehilangan menu utamanya.
Kisah Wakanda Forever berpusat pada situasi di Wakanda pasca kejadian di Avengers: Endgame (2019). Sedangkan musuh utamanya adalah Namor, yang mengganggu kedigdayaan Wakanda.
Anomali Black Panther
DUA PEREMPUAN PERKASA, Shuri (Letitia Wright, kanan) dan Okoye (Danai Gurira) menjadi sosok penting dalam Wakanda Forever sepeninggal Chadwick Boseman.-Marvel Studios via Entertainment Weekly-
Saya merasakan, film-film di fase 4 Marvel Cinematic Universe (MCU) memiliki permasalahan sama yang signifikan. Yakni, hanya sebagai proyek balas budi Marvel kepada Disney. Film-film itu—serta semua serialnya—hanya untuk memenuhi kuota tayang konten Disney+. Mereka seperti dibuat secara mekanis di pabrik perfilman. Diproduksi tanpa soul dan spirit sinematik.
Setiap film tak lagi menuju satu permasalahan utama. Masing-masing berdiri sendiri dan tak terkoneksi dengan baik. Bahkan, pertanyaan tentang ke mana saja semua superhero itu saat Thanos menginvasi bumi juga mulai tak digubris lagi. Film-film itu terlalu cerewet hingga jadi membosankan. Fase peralihan memang selalu mendapat banyak masalah. Tapi bukan berarti harus kehilangan keseriusan menampilkan sebuah seni atas pertunjukan.
Black Widow (2021) mengawali fase 4 MCU dengan cerita yang terlalu dipaksakan. Hingga berakhir hampa dan penuh masalah. Shang-Chi lumayan, karena tertolong kehadiran Tony Leung dan Michele Yeoh. Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022) menjadi lebih membosankan dan berakhir dengan kegilaan para fans yang kecewa.
Thor: Love and Thunder (2022) adalah film hore-hore. Mungkin hanya Spider-Man No Way Home (2021) yang cukup mengejutkan dan memenuhi ekspektasi banyak orang. Sayangnya, Eternals yang unik (2022) dan saya sukai malah dicemooh fans Marvel.
Dan terakhir, untuk Wakanda Forever, saya menyebutnya anomali.
SULIT MOVE ON, Nakia (Lupita Nyong’o) masih mengenang T’Challa. -Marvel Studios-
Baru kali ini saya melihat drama yang begitu banyak dalam sebuah film Marvel. Sebagai film khas Marvel yang sarah CGI, film ini terlalu serius. Minim komedi. Satu-satunya adegan komedi di film ini—yakni scene di Chicago—terasa canggung. Saya bahkan bingung apa harus tertawa atau tidak. Dan mungkin, ini film satu-satunya MCU yang pace-nya lambat.
Eternals, yang bagi fans Marvel dianggap “terlalu serius” saja, tidak ada apa-apanya dibanding ini. Dan bayangkan itu semua disajikan selama hampir tiga jam. Ya, ini film paling lama kedua di dunia MCU setelah Endgame. Dan terlama pertama sebagai sebuah film solo.
Membosankan? Mungkin. Buat fans MCU. Tapi, bagi yang menyukai film drama ketimbang aksi, saya pastikan Anda akan menikmatinya. Sub plot konfliknya begitu banyak, sehingga tak ada waktu untuk bersenang-senang seperti di Thor: Love and Thunder.
Jika Black Panther (2018) penuh sukacita dan perayaan, kali ini Wakanda diliputi dukacita dan berkabung yang emosional. Semua karakter di sana seakan berusaha move on atas peliknya permasalahan setelah ditinggal T’Challa. Tanpa mengurangi rasa hormat atas kepergian Chadwick Boseman, semua itu cukup mengganggu.
Talocan Forever
Wakanda adalah negara fiksi paling maju dan memiliki teknologi canggih. Memiliki stok logam langka yang paling kuat dan berdaya magis, vibranium, Wakanda menjadi negara yang adidaya. Negeri itu terletak di utara Kenya, tepatnya di Danau Turkana.
Meski sangat kuat, Wakanda justru menutup diri, dan tak memiliki keinginan untuk menginvasi negara lain. Mereka bahkan punya teknologi perisai digital yang mampu menutupi penampakan negaranya agar tidak diketahui dunia luar.
VILLAIN UTAMA Wakanda Forever, Namor, ternyata memiliki back story yang menarik. -Marvel Studios-
Selama ini, Wakanda mempercayai bahwa vibranium diciptakan dewa hanya untuk mereka. Tetapi ternyata tidak. Di Amerika Selatan, ada sebuah negeri yang juga tertutup dan tak diketahui oleh dunia, dan dianggap mitos oleh penduduk sekitar. Negeri itu adalah Talocan. Dipimpin oleh seorang mutan super bernama Namor.
Ini adalah debut Namor di MCU. Kalau DC punya Aquaman, Marvel punya Namor. Yang membuat saya sangat tertarik dengan karakter ini adalah basic story-nya. Ia diambil dari perpaduan mitos Atlantis dan kebudayaan Maya di Amerika Selatan.
Kostum, artistik dan bahasanya diadaptasi langsung dari kebudayaan Maya. Bahkan para aktor dilatih untuk bisa berbicara bahasa kuno Maya. Sedangkan setting-nya diambil dari mitos kerajaan Atlantis yang tenggelam di dasar laut. Jadi, Talocan adalah negeri para mutan seperti ikan yang hidup dan tinggal di dasar laut yang memiliki kebudayaan seperti suku Maya.
Sayangnya, kehebatan Namor dan para pasukan Talocan diadaptasi Marvel dengan kurang terhormat. Namor sebenarnya jauh lebih kuat dari yang seharusnya. Bisa dibilang Namor itu sekuat Black Adam atau Superman sekalipun. Sayangnya, di film ini, kekuatannya tereduksi jauh.
Kemunculan karakter Namor dan Negeri Talocan menjadi subplot yang menarik di sela-sela momen move on Wakanda. Bahkan ada scene khusus origin story Namor. Saya justru berharap Marvel mau mengekspos dunia Talocan menjadi film solo sendiri. Saya bayangkan, ia bakal jauh lebih menarik secara artistik. Bahkan mungkin bisa melampaui kedigdayaan jagoan DC, Aquaman.
Oh ya, hanya ada satu adegan tambahan sebelum kredit utama. Setelahnya, angkat kaki saja. Karena hanya muncul tulisan ’’Black Panther will Return’’. (*)