BARU saja saya terlelap, telepon kamar tiba-tiba berdering.
"Apakah Anda sudah mengisi data untuk swab besok pagi?" kata petugas di ujung telepon.
"Sudah, di WeChat tadi," kata saya.
"Ok," jawabnya, pendek. Lalu menutup telepon.
Saya menggerutu, sebelum lanjut tidur. Lihat jam, sudah pukul 01.37. Berarti saya tidur belum sejam –terhitung sejak jam 12 lewat saya baru masuk kamar karantina, kemudian mengisi data swab lewat WeChat, kemudian mandi, kemudian merebahkan badan untuk tidur itu.
Belum juga terlelap, telepon berdering lagi.
"Apakah yang di kamar nomor A10-110, A10-111, dan A10-232 adalah teman-teman Anda?" tanya petugas yang sama.
"Betul. Itu kamar Pak Amal, Pak Rois, dan Pak Yusuf. Satu rombongan dengan saya. Pak Amal dan Pak Rois kamarnya satu deret dengan saya. Cuma Pak Yusuf yang terpental ke lantai dua," jelas saya.
"Kalau begitu, tolong sekalian dibantu isi untuk swab besok," pintanya.
Saya mengiyakan.
Orang Indonesia yang memang tidak terbiasa pakai WeChat, akan menemui banyak kesulitan di Tiongkok. Selain dengan Alipay punyanya Jack Ma 马云, hampir semua keperluan di Tiongkok bisa atau bahkan perlu diselesaikan dengan WeChat. Mulai sandang, pangan, hingga papan.
WeChat begitu digdaya di Tiongkok. Padahal, waktu pertama kali diluncurkan, cuma berupa aplikasi berkirim pesan biasa. Pengembangnya bernama Allen Zhang 张小龙. Lulusan Central China University of Technology. Sarjana dan masternya sama-sama jurusan Teknologi Informasi.
Pada 1994, setamat S-2 dari kampus di Wuhan itu, Zhang bekerja di Guangzhou. Di perusahaan software developer. Umurnya baru 24 tahun kala itu. Merantau jauh sekali dari kampung halamannya di Hunan.
Zhang lahir dari keluarga tak berpunya. Orang tuanya petani. Ia sebenarnya mendapat tawaran bekerja di instansi pemerintah. Yang juga bergerak di bidang yang digelutinya.
Petugas mengantarkan sarapan ke kamar-kamar penghuni ruang karantina di Fuzhou-Novi Basuki-Harian Disway-