Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (11-Habis): Drama Kepulangan

Jumat 25-11-2022,05:53 WIB
Reporter : Novi Basuki
Editor : Tomy C. Gutomo

Saya dan Pak Yusuf panik lagi. Tapi berhasil menenangkan diri kembali dengan asumsi “mungkin masih proses, sebentar lagi pasti keluar.”

Menginjak jam 4, “Novi, swab Yusuf juga sudah keluar!” Suara Mr Wang mengagetkan saya yang tengah asyik menyeruput kopi. 

Giliran cuma saya sendiri yang panik. Padahal, sebentar lagi jam 5:45, kereta menuju Fuzhou sudah akan berangkat. Dan kami juga harus bersiap berangkat ke stasiun Taizhou untuk itu.

Saya makin ketakutan. Kepikiran tidak akan bisa pulang. Kebayang orang tua dan istri saya yang pasti akan terus-menerus menangis kalau sampai itu terjadi. Apalagi anak saya masih kecil: belum genap 8 bulan.

“Kita harus cari plan B,” kata Pak Amal. 

“Yang penting kita bisa keluar dari Tiongkok. Hong Kong tidak ketat. Kita cari pesawat yang ke Hong Kong. Dari Hong Kong kita terbang ke Jakarta,” sambungnya.

“Atau dari Hong Kong ke Singapura,” timpal Pak Yusuf.

“Tenang. QR code kesehatan Novi masih hijau. Pasti tidak ada apa-apa,” sambung Mr Wang.

“Kita berangkat bareng-bareng. Juga harus pulang bareng-bareng,” tambah Pak Rois, menenangkan.

Tapi saya tetap tidak bisa tenang. Kian lama kian cemas.

“Nanti di Stasiun Fuzhou kita swab lagi. Di Fuzhou prosesnya cepat. Malam ini juga hasilnya pasti langsung keluar,” ujar Mr. Wang, memastikan.

Di dalam kereta, saya terus berusaha meyakinkan diri bisa pulang. Tapi, untuk pulang, saya wajib menunjukkan hasil swab negatif yang maksimal 48 jam itu. Sedangkan saya tidak punya. Makin dipikir, pikiran saya makin kacau. 

Saya ingin segera sampai Fuzhou. 

Kereta cepat ini memang melaju dengan kecepatan rata-rata 300 km per jam. Tapi tetap saja saya merasa seperti proses birokrasi di negeri Konoha: lambat.

Apesnya lagi, antrean swab di Stasiun Fuzhou mengular. Bikin saya tambah gusar.

“Gimana kalau hasil swab-nya tidak keluar besok pagi?” tanya saya ke Mr Wang.

Kategori :