Indonesia Sebaiknya Abaikan WTO

Rabu 30-11-2022,05:00 WIB
Reporter : Mohamad Nur Khotib
Editor : Tomy C. Gutomo

JAKARTA, HARIAN DISWAY - Indonesia sedang bertarung di WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Saat ini, tengah mengajukan banding setelah kalah gugatan oleh Uni Eropa. Yakni atas pelarangan ekspor bijih nikel yang mulai diberlakukan sejak Januari 2020 lalu.

Kebijakan itulah yang membuat banyak negara di Eropa kalang kabut. Jika ekspor Indonesia terus dihentikan, tentu banyak pabrik pengolahan nikel di sana terdampak. Sedangkan, sudah puluhan tahun mereka menggantungkan pasokan mentah nikel dari Indonesia. 

Hasil gugatan itu baru keluar bulan lalu. Tertuang dalam final panel report terkait hasil putusan sengketa DS 592 yang keluar pada 17 Oktober 2022. Indonesia kalah. 

BACA JUGA:Terancam Kalah Gugatan WTO, RI Tetap Pertahankan Larangan Ekspor Bijih Nikel

Presiden Joko Widodo pun tetap ngotot dengan mengajukan banding. Jokowi ingin mempertahankan ambisi baru itu. Bahwa ekspor nikel mentah harus dihentikan. Agar Indonesia bisa mengubah tata kelola nikel di dalam negeri.

”Toh, keputusan panel itu belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Masih berupa draf putusan,” ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Selasa, 29 November 2022. Keputusan pengajuan banding itu pun sangat tepat. Sebab, saat ini masih terjadi kekosongan panel Appellate Review.   

Tentu saja, kata Juwana, itu sangat menguntungkan posisi Indonesia. Pengajuan banding bakal tetap diterima. Namun, tidak akan diproses dalam waktu dekat lantaran tidak adanya panel tersebut.

Artinya, pemeriksaan banding itu dipastikan memakan waktu lama. Diperkirakan hingga 2028 nanti. Sehingga program hilirisasi nikel bisa tetap dijalankan empat tahun ke depan. Termasuk terus menerima investasi untuk membangun smelter-smelter baru.


Tim pengacara Indonesia untuk sidang WTO yang dipimpin oleh Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga di Jenewa..-Foto: Kemenko Marves via Antara-

Meski penguluran itu akan ada konsekuensinya. Negara-negara yang menjadi pelanggan pasokan nikel itu akan mencari pedagang lain. Mereka bisa lari ke negara-negara lain yang punya banyak stok nikel mentah. Itu kemungkinan pertama.

Kedua, yang bakal terjadi justru sebaliknya. Para pelanggan itu kemungkinan bakal datang ke Indonesia. Bekerja sama untuk membangun smelter baru. Sesuai dengan standar kualitas mereka. 

”Kalau tidak mau, ya sudah. Silakan cari pasokan lain. Pokoknya, jangan menyerah. Mari ubah mindset bahwa mereka yang butuh kita,” tandas Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu.

Lalu, bagaimana jika tetap kalah? Menurut Juwana, harus disiapkan argumen yang kuat. Salah satunya, dengan mengacu pada kasus perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Kedua negara yang perang dagang sejak lama itu tak pernah ada gugatan ke WTO.

”Atau Indonesia merem saja. Dan tetap jalankan hilirisasi,” cetusnya. Sebab, eksekusi putusan WTO itu tidak lewat pengadilan seperti kasus-kasus pada umumnya. Biasanya dilakukan secara self-help alias eksekusi mandiri dari yang dikenai putusan.

Itu bisa bermakna adanya pilihan. Bisa menaati putusan atau mengabaikan. Tentu saja jika mengambil sikap ”merem” harus memahami kemungkinan risiko. Yakni memburuknya hubungan dagang dengan Uni Eropa. 

Kategori :