Lexyndo Hakim alias Li Junlong 李俊龙 ingin terus berbuat baik. Lagi dan lagi. Tanpa henti.
Sekjen Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang sekaligus wakil ketua umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) itu barangkali terinspirasi oleh filsuf besar Mencius 孟子 –yang dalam kitabnya, Mengzi (孟子), menceritakan beberapa tokoh Tiongkok klasik yang diacungi jempol olehnya lantaran mempunyai sifat-sifat terpuji semacam "与人为善" (yǔ rén wéi shàn): senang berbuat baik kepada sesama.
Sang Buddha juga mengapresiasi akhlak demikian. Dalam syair 118 Dhammapada, misalnya, kita dinasihati, "Paññañ ce puriso kayirā, kayirāthetaṁ punappunaṁ, tamhi chandaṁ kayirātha, sukho puññassa uccayo."
Yang terjemahan bebasnya: "Apabila seseorang telah melakukan perbuatan baik, hendaklah ia mengulangi dan merasa senang melakukan perbuatan baiknya. Perbuatan baik akan membawa kebahagiaan."
Mirip yang dinyatakan Alquran surah Ar-Rahman ayat 60, "Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan [pula]" (hal jazaa'ul ihsaani illal ihsaan).
Tak heran bila dalam Galatia 6:9 kita diperintahkan untuk tidak pernah jemu berbuat baik. "[S]elama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang." Pasalnya, "[A]pabila sudah datang waktunya, kita akan menuai" buah dari kebaikan kita.
Intinya, sebagaimana ajaran Hindu, kita dianjurkan untuk memiliki "tri kaya parisudha" (tiga perbuatan yang disucikan). Yaitu: Manacika (berpikir yang baik dan benar), wacika (berkata yang baik dan benar), dan kayika (berbuat yang baik dan benar). (*)