Menurut guru besar sosiologi Universitas Airlangga Bagong Suyanto, kegiatan ekonomi ilegal itu biasa disebut dengan shadow economy atau ekonomi bayangan. Senantiasa eksis di segala zaman. Meski, modus cuci uangnya juga terus berkembang.
Namun, para pelaku juga kerap melakukan ”pencucian” diri. Menyulap uang panas mereka menjadi dingin. Tentu dengan kontribusi-kontribusi di wilayah moral.
Misalnya, infak pembangunan masjid hingga menyantuni yayasan yatim piatu. Juga, menyumbangkan uang ke berbagai kegiatan sosial lainnya. ”Itu pola kamuflase sejak lama. Modus cuci uangnya memang begitu,” tandasnya.
Ekonomi bayangan tersebut akan selalu ada dan susah diberantas. Sebab, bagi para pelaku, kegiatan itu dinilai menguntungkan. Setiap hasilnya tidak akan dikenai pajak.
Mereka pun punya cara sendiri untuk menjaga keamanan. Bisa dengan mencari beking hingga menyuap para penegak hukum seperti konsorsium 303. ”Baru bisa terbongkar hanya jika di kalangan atau antarkelompok mereka tidak kompak dan konflik,” terang Bagong.
Apalagi, perjudian dan perdagangan narkotika itu juga menawarkan mimpi. Terutama bagi orang-orang yang tak punya kompetensi di bidang legal. Baik menjadi pengusaha maupun menempuh karier. Tentu mereka mengandalkan pundi-pundi rupiah yang dikumpulkan dari ladang haram. ”Jadi, ya mereka akan terus mengada,” jelasnya. (*)